surat ke-4

(kediri, januari 2014)

pertama kali bertemu denganmu aku sedikit gugup, aku hanya mengangguk patuh ketika kau mengajakku ke rumahmu. tentu saja aku bahagia dan yang bisa kulakukan adalah tersenyum sepanjang perjalanan. kau lelaki baik, meski kau selalu bilang kepadaku bahwa kau bajingan.

di ruang tamu rumahmu adalah tempatku berbincang-bincang pertama kali dengan orangtuamu. pagi itu rasanya seperti interview. mulai dari pertanyaan kita berkenalan di mana, sudah berapa lama kau dan aku berkenalan, apa pekerjaanku sekarang, berapa usiaku, jumlah saudaraku, aku anak keberapa, bagaimana keadaan kota tempat tinggalku, sampai pekerjaan orang tuaku. sejujurnya aku sedikit gugup, ini pertama kali aku mengalaminya.

di kamarmu, aku hanya melongo melihatnya. aku tidak tahu kalau kau sedikit malas merapikan barangmu. kau hanya membiarkan begitu saja setiap barang yang selesai kau pakai. kau tahu, aku sedikit tertawa memandangi kamarmu. selama beberapa malam aku rebahkan tubuhku di atas kasurmu, berharap wangi tubuhmu tersisa di sana. ada cermin yang sedikit buram tergantung di dinding, meja yang dipenuhi barang tak terpakai dan sebuah komputer lama. sebuah kursi di samping meja dengan tumpukan pakaianmu di atasnya. di lantai sedikit berserakan kertas-kertas sketsamu lengkap dengan pensil yang sengaja kau biarkan tergeletak. aku sedikit mengamati hasil kerja tangan dan imajinasimu, aku menyukainya. tidak salah jika kukatakan bahwa kau hebat. dan aku tak keberatan tidur dengan kamar yang seperti itu, aku menyukainya. seolah aku adalah bagian hidupmu. suatu hari nanti aku akan menghadiahimu buku sketsa yang banyak, berjanjilah kau tak akan menolaknya. kemarin sebelum pulang, aku menyempatkan merapikan sedikit kamarmu. sedikit saja, hanya menyatukan barang-barangmu di atas meja dekat komputer.

ruang televisi rumahmu adalah tempatmu tidur selama aku tidur di kamarmu. di pagi hari setiap kali aku bangun tidur, aku sering memandangimu. kau tidur pulas sekali. aku suka melakukannya. saat itu aku hanya memikirkan bahwa aku ingin melakukannya karena aku tidak tahu kapan lagi aku bisa melihatmu tertidur. malam terakhir sebelum aku pulang, kita sempatkan menonton televisi bersama. kau berbaring dan matamu sibuk melihat layar televisi, aku duduk di samping tubuhmu dan sibuk mengangankan bagaimna jika kita menikah nanti. dan aku tahu, itu tidak akan pernah terjadi. lalu sampai kapan kau dan aku begini?

teras belakang rumahmu terasa nyaman dengan suara kicauan burung-burung dalam sangkar yang menggantung rapi. aku tahu, seluruh anggota keluargamu selalu berkumpul di tempat ini. aku merasa hangat dan nyaman. hari itu aku menyempatkan membaca buku dan kau duduk di hadapanku  sembari melahap makan siangmu. sesekali aku mencuri pandang. ah, aku menyukai saat-saat itu. aku tak tahu, kapan lagi bisa seperti itu bersamamu. sebelum pulang, aku pamit kepada orang tuamu di tempat itu. sejujurnya, aku tak ingin pulang dan seandainya kau menahanku.

ibumu sangat baik, dia perempuan lembut, penyayang dan pengertian. ayahmu  ternyata tak seperti tampangnya yang keras dan sedikit menakutkan. adik perempuanmu yang mungkin usianya sama denganku, dia cantik. aku kadang cemburu melihat kedekatan kalian.

bertemu denganmu dan berada di rumahmu beberapa hari terasa seperti mimpi. suatu hari nanti aku ingin mengulangnya. maafkan aku, jika terlalu lancang mengatakan hal-hal semacam itu. hanya saja, saat ini aku merindukanmu. merindukan semuanya.

dudul.