(bogor, maret 2015)
sudah beberapa minggu hujan turun di setiap sore hari dan aku sedikit khawatir jika harus pulang dari kampus di waktu-waktu itu. dan akhir pekan ini lagi-lagi hanya kuhabiskan di depan televisi dengan perasaan yang sedikit tidak enak. terlebih sudah seminggu ini banyak kabar duka yang ditayangkan di hampir semua stasiun televisi. ada banyak air mata dan itu membuatku mual. sepertinya aku butuh seseorang untuk diajak berbicara. bukan andi, pun mom. maka setelah menunaikan shalat maghrib aku menulis surat ini. pun beberapa malam yang lalu ketika aku benar-benar lelah lantaran kegiatan di kampus, aku sempat menelepon mom akan tetapi dad yang menerima teleponku. aku merasa tak pantas mengeluh kepadanya, namun bagaimanapun, aku sangat butuh teman bicara, maka dengan suara yang sedikit bergetar akhirnya aku mengeluhkan semuanya kepada dad.
ada beberapa hal yang terjadi dalam satu minggu ini, dan beberapa di antaranya bukan yang kuharapkan. atau barangkali akunya saja yang terlalu percaya diri.
kau ingat lelaki yang kuceritakan di suratku sebelumnya? yah, aku dan lelaki itu terkadang melakukan obrolan singkat namun tak banyak menceritakan keseharian, selain perbincangan ringan yang sangat standar. aku pun tak yakin lelaki seperti dia akan bersedia mendengar keseharian seorang gadis kuliahan yang membosankan sepertiku. aku juga tak berniat menanyakan kesehariannya lantaran aku sempat mempelajari beberapa hal darinya, bahwa ketika aku selesai bertanya dia akan menjawabnya dengan sangat singkat. kecuali ketika ada sesuatu yang ingin disampaikan maka dia akan berbicara banyak. lagipula aku takut dia akan berpikir bahwa aku merupakan gadis yang agresif, meskipun beberapa lelaki menyukai gadis semacam itu.
kau tahu, dia sempat mengatakan bahwa dia menyukai tulisanku dan kelak apabila takdir kami baik dia akan mengajakku ke yogyakarta lantaran dia mengetahui bahwa aku begitu menyukai kota itu dan yang lebih memungkinkan adalah dia berasal dari yogyakarta. dia juga mengatakan bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan ketika kami bersama. sejujurnya, aku senang mendengarnya, berbeda
denganmu yang sama sekali tidak menyukai apapun yang kulakukan, termasuk menulis untukmu. dia juga memintaku untuk berhenti melakukan hal yang sia-sia, mulai melanjutkan hidup dan melupakanmu. namun kau tahu, aku tak perlu melakukan semua itu. aku baik-baik saja dan hidupku masih akan terus berlanjut, ada atau tanpa kau.
dan akhirnya, malam kemarin aku mengatakan padanya bahwa tak seharusnya dia berharap lebih kepadaku. terlebih ketika dia mengatakan bahwa akan mengunjungiku, dengan cepat aku menolaknya. aku hanya merasa takut, jikalau aku tak sesuai dengan apa yang dia harapkan selama ini. seperti kau yang kecewa kepadaku lantaran begitu banyak hal yang membuatmu muak, membuatmu merasa tak nyaman, terlebih sudah begitu banyak air mata yang hingga hari ini tak juga membuatmu kembali. tak ada yang bisa kulakukan untuk itu, selain menerimanya dan berlapang dada.
ketika beberapa hal telah kusampaikan kepadanya, lantas aku akhirnya
mengerti bagaimana perasaanmu ketika kau mengatakan hal yang sama
kepadaku. perihal rasa takutmu dan besarnya pengabaianmu terhadap harapanku untuk bersamamu. lagipula, ini bukan perlombaan siapa yang paling sakit, bukan? hanya saja ada yang lelaki itu tak ketahui perihal alasan mengapa aku bersikap seolah menutup diri untuk
beberapa hal. bahwa demi kau, aku pernah mengkhianati dan menyia-nyiakan seseorang yang tengah berjuang untukku lantas meninggalkannya dan memilihmu. dan untuk balasan segala yang telah kulakukan, aku akhirnya ditampar oleh kenyataan bahwa tak selamanya apa yang kuinginkan menjadi nyata. dan sekeras apapun usahaku untuk mempertahankanmu di sisiku, toh pada akhirnya aku merasakan kehilanganmu. dan sejujurnya
hal itu menguras seluruh waktuku untuk bisa mengikhlaskanmu. dan yang terpenting adalah aku belum siap memulai hubungan yang baru meskipun lelaki itu sempat mengatakan bahwa semua ini tak seperti yang kupikirkan. namun, bukankah hal-hal seperti yang telah dia katakan jelas mempunyai banyak kemungkinan? aku bertaruh, saat ini dia sudah membenciku. dan itulah yang kuharapkan, akan tetapi di waktu bersamaan aku merasa bersalah terhadapnya.
sejujurnya, aku hanya menginginkan lelaki yang ketika di hadapannya aku bisa menjadi apa yang kuinginkan. tak harus selalu terlihat pintar, anggun, dan dewasa. menerimaku dengan segala kekurangan, dan tak berpura-pura menyayangiku. terlebih dia bersedia menggenggam tanganku tanpa harus merasa malu dan canggung.
ah, apakah lagi-lagi kau merasa bosan dengan suratku? maafkan aku. setidaknya setelah menulis untukmu aku merasa lebih baik. barangkali, kelak, di saat yang sudah benar-benar tepat ketika aku sudah bertunangan dengan lelaki yang benar-benar kucintai melebihi perasaanku terhadapmu saat ini, aku akan menulis ulang semua suratku ini di atas berlembar-lembar kertas, lantas mengirimkannya untukmu. dan tentu saja, aku akan bersusah payah mendapatkan alamat rumahmu.
dudul.