surat ke-53


(bogor, april 2015)

beberapa hari yang lalu, akhirnya aku dan lelaki itu sepakat untuk bertemu. iya, aku sedikit berubah pikiran setelah sempat menolak. kami sepakat untuk bertemu di hari jumat kemarin dan dia yang akan mengunjungiku. tak ada salahnya bukan? ketika aku memberi sedikit ruang untuk hal-hal yang barangkali akan menyenangkan. bagaimana menurutmu? apakah kau semakin senang mendengarnya? lantas, di hari selasa setelah kuliahku selesai aku buru-buru pulang kemudian membuka lemari pakaianku dan memilih pakaian apa yang pantas kukenakan nantinya. tentu saja sambil memikirkan apa yang harus aku bicarakan ketika bertemu dengannya. kau tahu, sudah lama aku tidak melakukan hal-hal semacam itu. aku mempersiapkan segalanya. segalanya. akan tetapi, di hari jumat pagi dia membatalkan dengan mengabari bahwa ada urusan mendesak lalu hanya kujawab sesingkat mungkin. entahlah, aku tak tahu apakah itu alasan yang sebenanrnya atau barangkali dia pun berubah pikiran. lantas, aku merasa bahwa sebaiknya aku tak membiarkan kesempatan kedua datang, untuk siapa pun.

kurasa bahwa hari itu aku tak ingin ke mana-mana, hanya ingin meringkuk di bawah selimut dan menyembunyikan perasaan. sejujurnya aku sedikit kecewa. menurutmu apakah aku pantas untuk merasakan hal semacam itu atau lagi-lagi aku harus mengutuk diri sendiri sebab terlalu pecaya diri? nyatanya, aku tidak bisa menyembunyikan perasaan. kupikir aku harus lari dari semuanya, lalu aku menghubungi andi agar menemaniku. dengan pakaian dan apa pun yang seharusnya kukenakan untuk menemuinya, maka kuputuskan bahwa aku ingin melakukan perjalanan dengan menumpangi kereta dan tak peduli arah, aku hanya ingin berlari dan berharap semua akan baik-baik saja ketika aku pulang. tentu saja aku tak memberitahu alasan sebenarnya mengapa aku ingin melakukan hal-hal semacam ini yang menurut andi ini adalah hal bodoh. maka aku sangat berterima kasih kepadanya sebab meski selalu menolak namun pada akhirnya dia pun menyetujui setiap hal yang ingin kulakukan.

kau tahu, ada banyak hal yang kutemui dan secara bersamaan banyak pula perasaan yang hadir. aku memulai perjalanan dari stasiun bogor, melewati dua stasiun lantas singgah di pemberhentian stasiun berikutnya hanya untuk duduk dan lebih banyak diam sambil memperhatikan sekitarku. stasiun yang kusinggahi pertama kali itu lumayan sepi, hanya beberapa orang yang terlihat yang sama diamnya denganku. kuputuskan hanya duduk sebentar sembari menunggu kereta berikutnya datang. lantaran tak banyak yang menggunakan kereta hari itu sebab sedang tanggal merah untuk hari paskah sehingga aku dan andi tak perlu berdesakan dengan penumpang lain. di stasiun kedua yang kusinggahi, aku menyempatkan untuk membeli makan siang, hanya sebuah roti dan segelas minuman dingin lalu memilih duduk dan melahapnya di salah satu kursi tunggu sebuah peron.

di stasiun berikutnya aku dan andi tidak memutuskan untuk keluar namun ada sepasang kakek dan nenek masuk ke kereta lalu memilih tempat duduk yang tepat berada di depanku. aku dan andi sempat berbincang sedikit bahwa siapa pun pasti menginginkan masa tua seperti sepasang kakek dan nenek itu. terlihat berpegangan tangan dan saling melempar senyuman, wajah keduanya meneduhkan. kelak, aku ingin seperti mereka; sesekali melakukan perjalanan berdua saja, tak peduli usia kami asalkan kami masih sanggup untuk melakukan apa yang ingin kami lakukan kupikir tak ada salahnya.

tujuan terjauh dari kereta yang kutumpangi adalah stasiun jakarta kota. lumayan lama aku duduk di deretan kursi tunggu lantaran stasiun ini lebih ramai dibanding beberapa stasiun yang sempat kusinggahi. sejujurnya aku menyukai suasana stasiun, terasa misterius lantaran penuh dengan banyak kenangan orang-orang yang ditinggalkan dan meninggalkan. ketika aku sedang duduk sendiri memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapanku lantaran andi sedang membeli mi untuk makan siangnya, tiba-tiba seorang lelaki berpakaian lusuh mendatangiku lantas duduk di sebelahku. kira-kira usianya tigapuluhan lalu dia berbicara dengan suara yang kecil namun terburu-buru sambil memperlihatkan satu lembar uang seribu rupiah dan beberapa koin di tangan kirinya, dia meminta kepadaku seribu rupiah lagi sebagai tambahan ongkos pulang. dengan cepat aku mengeluarkan dompet dan mengambil satu lembar dua ribu rupiah lalu menyerahkannya. aku tersenyum namun tak memandangi matanya, setelah mengucapkan terima kasih lelaki lusuh itu akhirnya pergi dengan langkah yang juga terburu-buru. aku sempat memperhatikan punggungnya hingga dia hilang ditelan kerumunan orang-orang. setelah kepergiannya aku banyak berpikir bahwa apakah lelaki lusuh yang baru saja meminta uang kepadaku itu adalah salah satu korban dari kejamnya jakarta? barangkali aku harus percaya dengan apa yang ditulisankan oleh lelaki―yang akan menemuiku namun membatalkannya―itu bahwa jakarta lebih kejam daripada mantan pacar.

tentu saja, aku sangat bersyukur untuk perjalanan kali ini. sebab lagi-lagi dalam perjalanan pulang di dalam kereta, aku sempat bertemu dengan seorang kakek yang tiba-tiba saja duduk di sebelahku. aku sedikit kaget lalu memperhatikannya, pakaiannya rapi dan bersih namun wajahnya tidak. terlihat banyak beban di sana dengan janggut yang kurasa sudah lama tak pernah dicukur terlebih rambutnya acak-acakan yang sedikit lagi akan seluruhnya memutih. sesekali dia mengusap wajahnya lalu memejamkan mata. lama aku memperhatikannya dan aku baru meyadari bahwa kakek itu tidak memakai alas kaki. kau tahu, aku merasa seperti ditampar bahwa seharusnya aku lebih banyak bersyukur lagi dengan apa yang kupunya saat ini. bukan hanya aku, namun seluruh orang yang berada di gerbong kereta itu pun jika mereka melihat kakek itu sepatutnya mereka lebih bersyukur bahwa hal sekecil alas kaki pun bagi seorang kakek itu adalah berharga. sesekali kuperhatikan kakinya, lalu berharap yang terbaik segera menghampirinya.

aku dan andi tiba di stasiun bogor ketika hari sudah malam lantas kami keluar dari kereta tepat setelah hujan reda namun masih menyisakan gerimis yang tak begitu berarti untuk membuat pakaian kami basah. maka dengan kecepatan perlahan, dengan boncengan motornya, aku kembali melewati jalanan bogor sembari menikmati lampu-lampu jalan dan lampu-lampu kendaraan. kau tahu, pulang dengan banyak perasaan membuatku merasa lebih baik. dan satu lagi, malam sehabis hujan itu rasanya syahdu, aku sangat menyukainya.

semalam aku tidur dengan baik, barangkali aku kelelahan. dan di pagi tadi waktuku kuhabiskan dengan melakukan apa pun yang bisa kulakukan; mencuci pakaian, melamun, minum kopi, mengelap meja, televisi, dan rak buku hingga titik noda terkecil, menyapu, hingga menggosok kamar mandi. barangkali aku, kau, atau siapa pun akan selalu membutuhkan perjalanan yang seharusnya memberikan banyak pelajaran. namun di saat yang sama, aku pun selalu menyimpan banyak harapan dengan batasan di sana sini tentang hari esok yang masih abu-abu.

apakah kau setuju dengan beberapa orang yang mengatakan bahwa, tak ada yang lebih indah dari harapan-harapan? kurasa untuk hal itu, aku perlu memikirkannya kembali.

dudul.