surat ke-68

(bogor, september 2015)

aku menahan-nahan untuk tidak menceritakan ini kepadamu. namun akhirnya kulakukan juga, lantaran jemariku gatal untuk menuliskan cerita ini. jadi begini, liburan kemarin, aku mengunjungi rumah sahabat lamaku untuk suatu keperluan. namun dia tak ada di rumah, lalu kutelepon ke poselnya lantas dia menyuruhku menemuinya di rumah seorang iparnya. sepanjang perjalanan perasaanku tak enak dan beranya-tanya dalam hati. apakah sesuatu yang buruk telah terjadi?

benar dugaanku, aku mendapatinya dengan mata sembab. dengan banyak pertanyaan di kepala aku sabar menunggunya untuk menceritakan apa yang terjadi. jawabannya lebih buruk dari yang kupikirkan, bahwa sahabatku ini diusir dari rumah oleh suaminya. ekspresi kaget tak bisa kusembunyikan dari wajahku. lalu kuputuskan tak merespon jawabannya, aku hanya menunggunya untuk melanjutkan cerita.

tak ada yang bisa kulakukan untuknya hari itu, selain mendengar sembari menatap matanya yang berkaca-kaca. sahabatku ini sangat pandai menyembunyikan keburukan suaminya. perihal luka lebam di kening dan kandungan ketiganya yang mengalami keguguran lantaran seorang diri berusaha untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. lantas, muncul pertanyaan di kepalaku, apa guna seorang suami? aku tahu, bahwa melindungi kehormatan pasangan adalah kewajiban seorang istri maupun seorang suami. namun, lain hal dengan yang dialami sahabatku ini. dia berperan sebagai seorang istri yang tabah dan di setiap kesempatan menghadirkan senyuman baik-baik saja. aku merasa sedih mengetahui kenyataan buruk yang dialaminya selama ini. terlebih, jika mengingat bahwa selama beberapa tahun aku melihatnya sebagai salah satu keluarga kecil yang bahagia dan terkadang membuatku iri.

ketika siapa saja yang kebetulan sedang mencurahkan isi hatinya kepadaku, aku lebih banyak diam. yah, aku tipe manusia seperti itu. lebih banyak mendengar daripada menimpali setiap ucapan seseorang dengan alasan yang sederhana, bahwa aku lebih menyukai mendengar keluh kesah mereka daripada harus memberi nasehat. sebab memberi nasehat kepada seseorang akan membuatku kesulitan untuk berpikir. namun, ketika sahabatku ini mengakhir ceritanya, entah dengan alasan apa aku mengucapkan satu kalimat bodoh bahwa sebaiknya dia bercerai dan pergi, pergi ke mana saja. ah, manusia macam apa yang menyuruh sahabatnya sendiri bercerai dari suaminya. jelas, itu tak akan mudah.

kisah cinta tak selamanya bahagia. dari kejadian yang dialami sahabatku ini, akhirnya membuatku berpikir bahwa komitmen untuk hidup bersama tak semudah mengucapkan bahwa mereka siap menerima kekurangan dan kelebihan dari pasangan masing-masing. ada hal-hal yang harus diperjuangkan bersama.

dudul.