surat ke-125

(jakarta, agustus 2022)

tak peduli bagaimana orang-orang melihat perjalananku kali ini. banyak pesan masuk di DM instagramku menanyakan apakah aku melakukan ini untuk healing? nyatanya, saya tidak peduli. toh, saya melakukan perjalanan ini dengan perasaan baik-baik saja. saya sudah melakukan segala proses penyembuhan diri jauh sebelum saya melakukan perjalanan ini.

jadi, tiket kapal pelni kupesan satu bulan lebih awal, sembari mengatur rencana perjalanan dan menimbang-nimbang apakah saya harus melakukan ini atau kubatalkan saja? sejujurnya, pada waktu itu, saya dihinggapi perasaan takut. seolah sebentar lagi saya akan mengulang kejadian pahit dua tahun yang lalu. saya dihinggapi kecemasan.

saya adalah orang yang akan bertanggungjawab untuk semua hal yang akan kulakukan. termasuk keputusan perjalanan dan segala hal yang akan kutemui nantinya. saya menerka-nerka apakah yang akan kutemui nanti sesuai dengan anganku atau malah sebaliknya? kejutan seperti apa yang akan memengaruhi perasaanku? apakah akan menyenangkan atau menyakitkan?

kapal laut nggapulu yang kutumpangi berlabuh di jakarta pada lima belas agustus. perjalanan tiga hari dua malam itu memberiku pengalaman baru. sesuatu yang sangat kuangankan selama ini. menerka-nerka bagaimana rasanya melakukan perjalanan menggunakan kapal laut? nyatanya, saya melihat banyak hal. saya lebih banyak memerhatikan, saya banyak menulis, memotret, berbincang, dan berkenalan dengan beberapa orang baru. sebelum tidur saya menulis di jurnal harian saya.

di kapal saya jarang diam di kamar, saya banyak berjalan seolah melakukan tur kecil-kecilan. kadang saya berjalan sendiri dari dek paling atas ke dek paling bawah. menyusuri lorong-lorong kapal sembari melakukan pengamatan dengan rasa ingin tahu yang cukup besar. ketika tidak sendiri, saya bersama ria, seorang gadis tujuh belas tahun yang kukenali di kapal itu. kamarnya berada di sebelah kamar saya. saya bersyukur atas kemauannnya berkenalan dengan saya. saya pun menyambutnya dengan senang.

setiap pagi dan sore saya berdiri di geladak kapal, menyaksikan hamparan laut yang terlihat kosong. di saat yang sama saya merasa kecil. tidak ada apa-apanya di dunia ini. meski merasa demikian saya seolah memiliki jiwa yang besar untuk menerima segala hal yang akan kutemui di depan. sepenuhnya, saya memberikan tubuh saya waktu untuk merasakan apa yang betul-betul kubutuhkan dan dengan cara apa saya bisa mewujudkannya.

ketika kapal transit di surabaya, saya turun menjelajah di sekitar pelabuhan. saya membeli ayam goreng untuk makan malam, karena makanan di kapal sangat tidak mengundang selera. saya hampir tidak pernah menyuapkan makanan lebih dari dua sendok makan. kupikir bobot badanku berkurang setelah turun dari kapal. tapi apapun itu, segalanya kusyukuri sebagai bagian dari perjalanan.

pada hari ketiga lorong-lorong kapal di dek lima, enam, dan tujuh sudah sepi dan super bersih, dari yang sebelumnya serupa pasar malam dengan banyak orang menggelar karpet karena tidak kebagian tempat tidur. saya sangat bersyukur bisa merasa jauh jauh jauh lebih nyaman dibanding penumpang lain; sebuah kamar ber-ac dengan privasi yang tetap terjaga. terlebih tidak ada biaya tambahan untuk semua itu. what a good life.

setelah berpisah dengan ria, saya kembali sendiri. maka hari terakhir kuhabiskan dengan hanya duduk-duduk sembari memerhatikan laut dan orang-orang di sekitarku. matahari juga tidak tampak pagi ini, cuaca sedang mendung. angin yang meniup helai rambutku terasa seperti sapuan kasih sayang dalam bentuk berbeda. saya menikmatinya, tidak banyak yang kupikirkan. pikiranku seolah ringan, tidak ada beban, dan sangat berjarak dari kehidupan yang kujalani sebelum berada di kapal ini. segalanya seolah kutinggalkan dan siap menghadapi dunia baru. apakah aku akan kembali? entah haha.

saya juga menyelesaikan bacaanku, “gagal menjadi manusia”. si tokoh utama, oba yozo, mengatakan begini, “bagiku kehidupan berkelompok itu mustahil. ditambah lagi mereka sering mengucapkan bualan-bualan semacam antusiasme jiwa muda dan kebanggan penerus bangsa. dibuat merinding aku tiap kali mendengarnya.”

“gagal menjadi manusia” habis kubaca dengan perasaan sedikit menyakitkan. barangkali karena si tokoh utama hampir tidak mengalami kesulitan hidup sedikit pun, kecuali konflik di dalam dirinya sendiri ketika harus memikirkan apakah perbuatannya baik atau buruk. yang justru karena hal tersebut dia selalu menyembunyikan diri.

ketika kapal sebentar lagi berlabuh di tanjung priok, ada kesenangan dan kelegaan tersendiri yang kurasa. tujuan saya sudah di depan mata. perasaan saya buncah bersiap menemui jalan-jalan dan cerita-cerita baru. di saat yang sama saya memikirkan untuk lebih sering melakukan perjalanan untuk kelak kubagi kepada buah hatiku.

nila.