(jakarta, agustus 2022)
"kalaulah memang ada yang lain yang kau sayangi selain diriku, katakanlah sejujurnya jangan janganlah kau bersandiwara!"
kita berdiri di depan kedai tjikini. dengan menghisap sebatang rokok yang kau beli di pedagang asongan yang mangkal di depan kedai, kau bercerita tentang kinerja pemerintah yang kau anggap tidak becus. sembari mendengarkan ceritamu, perhatianku teralihkan oleh sekelompok pengamen yang menyanyikan sebait lagu yang kusadari bahwa mereka seolah mewakili perasaanku yang telah kau hancurkan malam itu.
aku telah menunggu satu tahun untuk pertemuan ini. betapa aku sabar dan tidak menuntut apa-apa lantaran aku selalu percaya bahwa waktu yang tepat akan tiba. tetapi aku tidak mengantisipasi untuk hal-hal buruk. untuk kamu, aku percaya bahwa ini akan berhasil. tetapi, seperti lirik lagu yang dinyanyikan oleh sang pengamen, sejak malam itu segalanya tak lagi sama.
kau memesan gado-gado malam itu, aku pun memesan menu yang sama. tetapi kau cukup kesal karena pelayan kedai tidak mengindahkan pesanan kita. katamu kau belum makan dari siang. karena menunggu lama, kau menggerutu dan dengan suara pelan aku memintamu untuk bersabar. kukatakan dalam hati bahwa waktu yang kau habiskan untuk menunggu sepiring gado-gado tidak sebanding dengan waktu yang kuhabiskan untuk pertemuan ini. aku sanggup menunggu untuk sepiring gado-gado, bahkan jika itu hingga esok hari. aku berkesimpulan bahwa kau tipe yang tidak sabaran, atau rasa lapar membuatmu cepat marah, atau kau telah berjanji kepada kekasihmu untuk tidak berlama-lama denganku.
sembari menunggu gado-gado yang mahal dan tidak enak itu, lantaran sangat asin di lidahku, kau berubah menjadi (salah satu) lelaki bajingan yang pernah kutemui. jika kebetulan kau membaca ini, aku tidak akan meminta maaf untuk kata "bajingan" yang kutulis untukmu. kurasa kau cocok untuk itu. maksudku, bagaimana mungkin kau baru mengakui bahwa kau memiliki kekasih di pertemuan pertama kita. kau mengakuinya sambil terus menunduk memainkan handphone sialanmu, kau berkirim pesan dengan kekasihmu seolah aku tidak ada di hadapamu. kau menunduk, menunduk, dan menunduk. entah merasa bersalah atau kau memang tidak peduli. selain bajingan, ternyata kau tidak sopan. di saat yang sama aku malah membayangkan gado-gado kesukaanku yang nun jauh di sana, murah dan super enak. membuatku ingin segera pergi dari hadapanmu.
seandainya mata kita sempat bertatapan lama malam itu, barangkali kau akan menemukan sebait tanda dalam kalimat yang tersirat pada mataku bahwa aku sangat ingin menumpahkan teh hangat tepat di wajahmu, aku sangat ingin menusukkan garpu yang kupegang tepat di inti jantungmu. mungkin kau akan mati malam itu juga dan gagal mengabari kekasihmu. mungkin segala ucapanmu yang memuakkan itu tidak akan kudengar lagi. tetapi, alih-alih melakukan itu, aku hanya tersenyum sepanjang beberapa jam pertemuan kita. segalanya kutahan dengan tetap memerhatikanmu terus menunduk.
ada hal-hal yang tak harus menemui jawaban, beberapa memang ditakdirkan menggantung di ruang pikiran. aku telah belajar untuk itu. aku telah memahami bahwa beberapa perkataan terkadang tidak sesuai dengan tindakan. manusia memang makhluk menyebalkan dan kejam.
di boncengan vespa matic-mu, ketika mengantarku ke stasiun, aku tidak lagi merasakan apa-apa selain firasat bahwa kita tidak akan bertemu lagi. sesibuk kau menjelaskan tentang gedung-gedung yang kita lalui, sesibuk itu pula aku perlahan menghapusmu dari segala yang pernah mengisi harapanku. nyatanya, kau terlalu silau, sedangkan aku mencari kesederhanaan. kita berpisah dengan sekalimat janji untuk saling mengabari, yang kutahu itu hanyalah omong kosong.
nila.