aku masih ingat, hari itu pukul sembilan pagi. aku bangun lebih awal dari kau. memang selalu seperti itu. ketika secangkir teh yang disuguhkan oleh adik perempuanmu itu habis kuteguk dan ketika percakapanku dengan Ibumu selesai, aku lantas beranjak untuk melihatmu. kau tidur di depan tv selagi aku tidur di kamarmu. aku memperhatikanmu dari balik gorden yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang tv. benar saja, aku seperti mengintip tapi tidak, karena seluruh tubuhku dari ujung kaki sampai ujung rambut bisa saja kau lihat jika tiba-tiba kau membuka mata. kau tahu, selama dua pagi di waktu yang sama, aku selalu melakukannya. mencuri waktu dengan memandangimu terlelap. aku hanya berpikir, kapan lagi bisa kulakukan yang seperti ini. semata-mata agar aku bisa merekam semua tentangmu. memasukkanmu dalam kepalaku hingga semuanya hanya terisi penuh oleh kau. hanya kau, dan tentang kau.
pagi itu, kau meringkuk seperti sedang kedinginan dengan tubuh menghadap ke kanan. sedikit sulit untukku melihat wajahmu karena aku berada di sisi kirimu. tapi aku tahu kau tidur dengan lelap meski pagi sudah mulai beranjak. apakah kau sedang bermimpi pagi itu? apa yang kau
hadirkan di mimpimu? dan sesekali jika kau tak menghadirkanku di mimpimu biar aku yang menghadirkan diri sendiri.
hadirkan di mimpimu? dan sesekali jika kau tak menghadirkanku di mimpimu biar aku yang menghadirkan diri sendiri.
butuh perjuangan, butuh waktu, butuh air mata, dan untuk melihatmu ada begitu banyak perasaan yang hadir, salah satunya, air mata Mom, dia sedih karena anak perempuannya pergi dengan melintasi jarak yang lumayan jauh dan dengan waktu yang lumayan lama. aku mengerti perasaan Mom saat itu, hanya saja aku selalu meyakinkan perasaannya bahwa aku akan baik-baik saja, aku akan baik-baik saja. karena ada kau, Tuan. jika ada air mata, maka ada cinta, iya karena jika saja aku tidak cinta, mana mungkin aku pergi menemuimu, melintasi langit dan merubah letak jarum jam di tanganku.
ketahuilah, suratku kali ini bukan untuk menghakimimu dengan segala yang telah kulakukan karena kau tiba-tiba saja pergi dengan meninggalkan sakit di dadaku. ketahuilah, suratku kali ini hanya untuk mengingatkanmu bahwa aku perempuan yang setiap hari selama tiga bulan terakhir selalu mendamba, meluangkan waktu, bahkan berusaha menarik perhatianmu dengan suratku. tapi bagaimana mungkin perhatianmu bisa kudapatkan jika kau tak pernah membaca suratku. iya, karena suratku tak pernah sampai ke alamatmu. dan mana mungkin suratku bisa sampai ke alamatmu jika alamat rumahmu saja aku tidak tahu. ini kebodohanku karena tak sempat
menanyakannya ke Ibumu waktu itu.
memandangi kau terlelap pagi itu, membuatku berpikir, kapan aku bisa menyusup masuk diantara kedua lenganmu. oh, maafkan aku jika yang kupikirkan membuatmu semakin tak menyukaiku. hanya saja kau tak ternilai, kau adalah segalanya, sensasi Ilahi, meski itu hanya pelukanmu. maafkan aku jika aku mengatakan ini: aku adalah kau, kau adalah pusat semestaku. apakah aku berlebihan? ah, biarkan saja.
menanyakannya ke Ibumu waktu itu.
memandangi kau terlelap pagi itu, membuatku berpikir, kapan aku bisa menyusup masuk diantara kedua lenganmu. oh, maafkan aku jika yang kupikirkan membuatmu semakin tak menyukaiku. hanya saja kau tak ternilai, kau adalah segalanya, sensasi Ilahi, meski itu hanya pelukanmu. maafkan aku jika aku mengatakan ini: aku adalah kau, kau adalah pusat semestaku. apakah aku berlebihan? ah, biarkan saja.
saat ini, tiga bulan setelah pagi itu ketika aku dengan begitu antusias memandangi dan merekam kau di kepalaku yang sedang tertidur, yang bisa kulakukan hanya mengulang rekaman itu. aku harus menerima kenyataan bahwa hatiku harus puas dengan itu. besok, besok, besoknya lagi dan beberapa besok yang akan datang, saat kau masih terlelap meringkuk dengan tubuh menghadap ke kanan, meski pagi sudah mulai beranjak perlahan, percayalah aku akan selalu datang memandangimu. memandangi wajahmu sambil tersenyum melihat bekas lipatan sarung bantal yang tergambar abstrak di pipimu.
besok, ketika aku datang selagi kau masih tertidur, dan mungkin kau sedang bermimpi, maka akan kutemui kau di mimpimu itu. mungkin kita bisa ngobrol sambil bertukar tawa (lagi) atau mungkin menikmati kopi bersama (lagi). menikmati gesekan kulit kita (lagi) dan mencium wajahmu yang wangi kopi (lagi). biar aku yang memilih tempatnya. aku tak ingin pergi jauh. aku hanya ingin duduk berdua (lagi) di ruang tamu rumahmu.
dudul.