sementara itu sepasang kaki yang kukira akan selamanya
akhirnya berjalan pincang. aku kalah, tak bisa lagi kulihat
kau di manapun. kau pergi, pun aku seperti melayang-layang
di atas kepalamu yang entah kusebut apa.
akhirnya berjalan pincang. aku kalah, tak bisa lagi kulihat
kau di manapun. kau pergi, pun aku seperti melayang-layang
di atas kepalamu yang entah kusebut apa.
pernah, kusebut kau rumah segala pulangku. menjadikanmu
pelukan bagi segala rindu. seperti cangkir kopimu yang
selalu menunggu kau kecup berkali-kali. seperti sebatang
rokok yang selalu ingin kau hisap hingga habis.
pelukan bagi segala rindu. seperti cangkir kopimu yang
selalu menunggu kau kecup berkali-kali. seperti sebatang
rokok yang selalu ingin kau hisap hingga habis.
aku hanya ingin menulis kau di setiap kalimat yang kutulis.
menulismu hingga kata tak mengenal pergi atau aku ingin
kau yang menulis namaku diam-diam dan aku tak perlu tahu.
sekali saja. sekali saja tuan, tak perlu kau palingkan wajahmu
hingga waktu beringas menertawakan sedih yang kau kirim
lewat amplop hitam sore itu.
menulismu hingga kata tak mengenal pergi atau aku ingin
kau yang menulis namaku diam-diam dan aku tak perlu tahu.
sekali saja. sekali saja tuan, tak perlu kau palingkan wajahmu
hingga waktu beringas menertawakan sedih yang kau kirim
lewat amplop hitam sore itu.
barangkali, memang seperti inilah kita; kau menanam ego
di dasar pikir yang tak pernah kumengerti, sementara aku
menjadikanmu ladang kesabaran tiada batas.
di dasar pikir yang tak pernah kumengerti, sementara aku
menjadikanmu ladang kesabaran tiada batas.
akhirnya, segala yang kupinta padaNya hanya bagimu; menjadikan
hati dan pikiranmu seluas-luasnya rasa, agar ego melepaskan
diri dari pelukmu.
hati dan pikiranmu seluas-luasnya rasa, agar ego melepaskan
diri dari pelukmu.
d.
_____
Makassar
Juli, 2014
Juli, 2014