surat ke-38

(bogor, februari 2015)

sejak mengenalmu setahun yang lalu aku selalu percaya bahwa kita akan selamanya. apapun yang kau suka, yang kaukagumi, selera musik, bahkan makanan akan menjadi kesukaanku juga. sejujurnya hal itu kulakukan hingga  hari ini. aku terlambat menyadari, bahwa tak akan selamanya bisa bergantung padamu. kita berakhir dengan tujuan berbeda. padahal kalau saja kau meminta kehadiranku, aku selalu mempunyai banyak waktu untukmu.

sore itu adalah hari di mana kita sepakat untuk bertemu, lalu kau membawaku menemui ibumu. satu hal yang paling membuatku bahagia. lantas berbincang apa saja ketika hujan mengguyur kotamu adalah hal lain yang tak pernah kulupakan. barangkali, pemikiran-pemikiran kita memang saling menyimpang. kita tak pernah lagi bersisian sejak hari itu. aku selalu memikirkan bahwa ada banyak kesalahan-kesalahan di antara kita. barangkali karena aku selalu menganggap pertemuan denganmu adalah hal yang sangat besar dan perlu kurayakan. namun nyatanya, kau tak pernah menganggapnya sama.

selama ini sebenarnya aku menunggumu untuk datang dan mendengar darimu bahwa kau tak akan mengulanginya lagi, bahwa kita akan saling meminta maaf atas kesalahan-kesalahan bodoh, kemudian memulai dari awal lagi. namun hingga hari ini pun kau tak pernah melakukannya.

sejak pertemuan pertama denganmu setahun lalu, kalau kau ingin tahu, mulai hari itu aku hanya punya satu mimpi. bahwa aku ingin tinggal di rumah sederhana dengan satu orang yang benar-benar tepat. bila aku harus mencurahkan seluruh perhatianku maka kepada satu orang itulah hal tersebut ingin sekali kulakukan; kupikir orang itu adalah kau. dan kalau kau ingin tahu lagi, berhari-hari lamanya sejak hari itu aku telah memilihmu dalam setiap doaku.

pertemuan memang selalu menuntut akhir, bukan? jika saja waktu itu aku lebih dulu menyadari bahwa segalanya akan berubah seiring putaran waktu, barangkali aku tak akan membiarkan ego bertahta di sudut kepalaku. maafkan aku.

dudul.