surat ke-56

(bogor, april 2015)

sudah seminggu ini adik perempuanku banyak mengeluh kepadaku. lantaran sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke universitas, maka dari itu dia harus tinggal berjauhan dari mom. dia menanyakan apa saja setiap harinya, mulai dari bagaimana cara mencuci pakaian hingga apa yang harus dia lakukan ketika diajak ke salon oleh sepupu perempuanku, apakah dia harus menolak atau menerima tawaran perawatan wajah dari pegawai salon. sepertinya dia kaget sebab saat ini dia harus hidup sendiri, terlebih dia mengatakan padaku bahwa pernah sekali waktu di malam hari ketika ingin tidur dia sempat menangis ingin pulang, dia pun sempat sakit hingga mengharuskannya menemui dokter. tentu saja aku menghiburnya dengan sedikit menertawakannya. aku mengatakan bahwa perasaan seperti itu hanya sementara, jika sudah terbiasa kau tidak akan merasakannya lagi, maka nikmati saja setiap harinya. bukankah, ada saat ketika kita menjadi lupa untuk sekedar pulang?

membicarakan adik lelaki tak kalah membingungkan, aku sedikit heran apakah anak lelaki memang ditakdirkan untuk menjadi keras kepala dan pembangkang? aku terkadang ingin menyerah saja menghadapi adik lelakiku ini, namun di waktu yang sama aku kerap tak tega melihatnya kesusahan. maksudku, apa saja yang dia butuhkan maka dia selalu saja mengeluh kepadaku. dia selalu mengatakan bahwa tak tega meminta kepada mom, dan sebagai kakak tertua aku merasa wajib untuk mengurusi mereka. kau tahu, hal itu tidak mudah, dan itu juga yang menyebabkan aku ingin merasakan bagaimana mempunyai seorang kakak. dan aku iri dengan adik perempuanmu lantaran mempunyai kakak lelaki sepertimu.

selama dua minggu kemarin, aku terlalu banyak libur dan hanya sehari dua hari saja yang kugunakan untuk kuliah. hal itu membuatku sedikit malas. lantas, seminggu kuhabiskan dengan beberapa kali mengunjungi bioskop seorang diri. kupikir bahwa banyak film yang harus kutonton di bioskop dibanding menunggu untuk menontonnya di laptop. mengunjungi toko buku lantas membeli beberapa buku pun tak keluar dari kegiatanku. aku sempat membeli beberapa buku puisi lantaran hanya itu yang menarik perhatianku belakangan ini.

akhir pekan ini suasana hatiku sedang tidak enak, kemarin aku merasa sedikit gusar. terlebih aku kerap bermimpi aneh, entah melihat orang meninggal di depan mataku, memimpikan ibu bapakmu, atau pun memimpikan seorang teman yang sudah lama tak kutemui. aku berusaha untuk tidak peduli dengan hal-hal semacam itu, namun jika di setiap malam aku bermimpi aneh, maka tentu saja aku menjadi khawatir dengan diriku sendiri.

kemarin hingga siang ini langit tak hentinya menjatuhkan rintik hujan. aku tidak menyukainya lantaran segalanya akan menjadi basah. aku tidak menyukai aura yang ditimbulkan dari bekas hujan, seperti menghadirkan perasaan pilu. kurasa aku tak perlu lagi menulis di surat-suratku bahwa aku merindukanmu, lantaran aku yakin bahwa kau selalu tahu itu. aku hanya akan menuliskanmu beberapa lembar surat panjang yang berisikan segala yang kurasakan jika tiba-tiba saja aku ingin sekali berbicara denganmu.

kau ingat percakapan terakhir kita? dua bulan yang lalu ketika kuminta kau untuk tidak pergi. dan bukankah aku tak pernah meminta apa-apa darimu selain hal tersebut? aku mengatakannya sambil menangis dan kau memarahiku. kau tahu, ketika mengatakan hal itu aku merasa menjadi perempuan paling lemah di dunia. aku takut kehilangan kau seolah aku tak mempunyai apa-apa, seolah semua senyum di wajahku akan ikut pergi seiring dengan derap langkah kakimu. butuh waktu yang lama untuk menerima terlebih menyadari bahwa kau tak akan kembali lagi. kau selalu saja mengatakan ingin pergi untuk selamanya seolah menumpuk ketakutan di dadaku. namun, saat ini aku merasa bahwa kau sudah melakukannya. terlebih kau selalu mengatakan bahwa tak ada masa depan untuk kita, kau tak pantas untukku, masih banyak lelaki lebih baik darimu, dan segala alasan yang menjadikanmu seorang lelaki pesimis. setiap kali mengingat semua itu, serta merta aku menjadi sangat membencimu.

dudul.