surat ke-61

(bogor, juni 2014)

suasana kedai kopi ini sedikit bising, perpaduan antara bunyi mesin kopi dan percakapan beberapa pengunjung. lantas aku memilih duduk di pojok dengan sofa menghadap ke jendela. seorang lelaki yang juga sendiri berada tepat di sebelahku terlihat serius dengan komputer portablenya yang menyala, juga beberapa lelaki yang berada di teras kedai seolah berlomba menciptakan kepulan asap yang berasal dari mulut masing-masing. 

jadi, sore ini aku baru saja selesai menonton sebuah film. film horor, jika kau ingin tahu. sedikit menghibur jika kuingat bahwa semalaman setelah menulis surat untukmu aku tertidur beberapa menit dan terbangun lantaran gelap kamarku menghadirkan bayangan menakutkan tentang kau yang tersenyum bahagia. entahlah, kupikir aku hanya takut menerima kenyataan bahwa kau bahagia bersama perempuan lain. seolah kau dirampas dariku. padahal, tak seharusnya hadir perasaan-perasaan semacam itu. setelahnya, aku tak bisa tidur sama sekali dengan terus mengingatmu dan membuat dadaku sesak hingga detik ini. sejujurnya, tanpa sengaja aku menulis surat kedua hari ini. seperti kehadiranku di kedai kopi ini yang juga tak kurencanakan. saat dalam perjalanan ke kampus siang tadi, tiba-tiba saja aku mengambil keputusan bahwa aku harus memanjakan diri dan mencoba menemukan sesuatu yang bisa membuatku merasa lebih baik.

menonton film, lalu ke toko buku, dan mampir di kedai kopi adalah beberapa caraku untuk menghibur diri kali ini. aku membeli tiga buah buku. salah satu buku yang kubeli, sang penulis mempersembahkannya untuk orang-orang yang pernah dilukai, hingga susah melupakan. ketika membaca bagian itu aku sedikit tersenyum, mengingat diriku yang sedang merasakan apa yang tertulis di sana. menyesakkan, bahwa ke manapun kakiku melangkah aku selalu membawamu. dan miris, lantaran kau selalu tahu apa yang kurasakan dan di waktu yang sama kau selalu saja menutup mata, telinga, bahkan hati seolah tak peduli. lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa untuk hal itu.

setiap kali selesai menonton sebuah film, aku selalu menemukan sebuah kalimat yang akan terus kuingat. kali ini aku pun menemukan bahwa mencintai adalah salah satu cara menunda kesedihan. yah, aku setuju, bahwa aku pernah dan akan selalu mencintaimu dengan keikhlasan jatuh dan kerelaan melakukan apa saja, namun akhirnya merasakan kesedihan yang sangat sempurna. di mana air mataku sudah tak bisa lagi menetes, dan aku seperti tak bisa lagi merasakan apa-apa. asal kau tahu, aku tak mengharapkanmu lagi untuk kembali. tidak sama sekali. selama beberapa waktu lamanya aku berdoa kepada Tuhan semata-mata hanya untuk bahagiamu dan aku kerap lupa berdoa untuk diriku sendiri. apapun yang kau rasakan saat ini, kupikir itu adalah jawaban dari doaku. kau tak perlu berterima kasih seperti yang kau lakukan malam itu, lantaran aku selalu menyukai apa saja yang kulakukan untukmu.

maka dari itu, saat ini aku tak akan membiarkan diriku sendiri. aku merasa sangat membutuhkan seseorang untuk diajak bicara. aku harus berada di tengah keramaian. aku tidak akan buru-buru pulang ke kosan. aku harus menyibukkan diri, dengan begitu aku tidak akan selalu memikirkanmu dan tidak akan terlalu larut dalam kesedihan.

menulis surat untukmu selalu membuatku lupa waktu. di luar sana, langit sudah mulai gelap dan secangkir kopi yang kupesan hanya kuteguk dua kali. rasanya hambar, entah karena tak enak ataukah aku yang memang tak punya selera makan sejak pagi tadi. dengan sesekali memperhatikan lampu kendaraan yang lewat aku berdoa semoga aku tak jatuh lagi kepadamu. aku akan memberitahumu satu hal, bahwa hati seorang perempuan akan menjadi sangat dingin, bahkan lebih dingin dari air hujan yang kerap jatuh menyentuh kulitmu. yang pada akhirnya membuatku berpikir lagi untuk tidak menjatuhkan diri kepada siapa-siapa. terlebih aku teringat dengan apa yang pernah dikatakan oleh mom kepadaku sekali waktu, bahwa seorang lelaki tak bisa dipercaya, sepenuhnya.

dudul.