bulan ini kau betulang tahun. apa harapanmu kali ini? segera menikah dengan kekasihmu? kudoakan. lantas, bagaimana kabarmu? sehatkah? semoga. apa kesibukanmu? masih sering menggambar? aku tak pernah lagi mengintip sosial mediamu. aku sengaja mengabaikanmu, seperti yang kau lakukan.
surat ini, kutulis di salah satu kedai kopi favoritku. kemarin-kemarin aku sering mengunjungi tempat ini di sore hari. kadang bersama adik perempuanku dan sekali dengan kedua sahabatku. namun hari ini, aku mengunjunginya di siang hari, seorang diri. aku sedang berjalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan di daerah panakukkang, lantaran seorang teman memesan untuk dibelikan sesuatu. lantas, aku berpikir untuk mampir sebentar.
sejam yang lalu, aku memasuki ke kedai kopi ini lantas memesan dua gelas. latte dan kopi hitam. latte ialah kesukaanku jika sedang berkunjung ke tempat ini dan kopi hitam ialah kesukaanmu. jika kau berpikir, untuk apa aku memesan kopi untukmu sementara kita berdua tahu bahwa kau tak akan pernah datang dan tentu saja hanyalah membuang-buang uang, maka jawabannya ialah bahwa aku merindukanmu. iya, aku sekonyol ini. kau ingat, aku juga pernah membeli sebungkus rokok di toko dekat kosan lantaran waktu itu aku pun sangat merindukanmu.
sebentar lagi, liburanku berakhir dan tiket pesawat telah kupesan sore kemarin. sejujurnya, banyak yang bisa menahanku di sini, dan lebih banyak lagi yang bisa membuatku tinggal. namun kurasa, ini bukanlah kehidupan nyata, lantaran terlalu menyenangkan. kehidupan nyata penuh dengan kecemasan dan langkah yang kerap terseok. aku, pun kau berada di antaranya.
hingga surat ini selesai kutulis, gelas kopimu tak pernah kusentuh. begitu pun dengan kopiku yang kusisakan setengah gelas. kubiarkan ia mendingin dan sebentar lagi kutinggalkan. aku tak mengharapkan apa pun dengan semua yang kulakukan. dan ketika seorang barista bertanya kepadaku, mengapa kopimu tetap utuh maka kukatakan dengan sedikit mengarang cerita bahwa orang yang kutunggu tak datang.
dudul.