surat ke-74

(bogor, oktober 2015)

aku sedang duduk di pinggiran tempat tidur lalu memikirkan perihal suratku yang kemarin. aku merasa konyol menawarkan diri dan mengira punya peluang bersamamu lagi. aku merasa malu. sangat konyol. aku tak pantas untuk mendapatkan kesempatan kedua darimu, tak pernah pantas. terlebih, aku masih merasa tak enak terhadapmu setelah malam itu, ketika kukatakan bahwa perempuan itu tak akan meninggalkanmu jika kalian mempunyai perasaan yang sama. aku tahu, kau semakin terluka dengan pernyataanku itu, tapi aku harus mengatakan apa yang harus kukatakan. maafkan aku.

kepalaku kembali sakit, sudah beberapa hari kerap kurasakan jika bangun tidur. aku butuh kopi tapi terlalu malas untuk menyeduh. aku hanya ingin berbaring dan berharap sakit kepalaku menghilang dengan sendirinya. aku menyalakan tv fokus ke acara musik yang ditayangkan salah satu kanal, berusaha mengalihkan perhatian dari apa saja yang mengganggu kepalaku.

aku ingat, sekali waktu pernah mengatakan kepadamu bahwa ingin menjengukmu, ketika kurasakan kau butuh seseorang untuk diajak berbicara. barangkali kau butuh pundak untuk menangis, tapi kau menolak. kau bilang kau baik-baik saja tapi kurasa tidak. kau terluka setelah beberapa saat kulihat senyum terbahagia di wajahmu. semua butuh waktu dan juga kesalahanku ketika memaksamu untuk sembuh secepatnya. aku merasa tak sabar untuk hal itu. maafkan aku lagi.

kemarin aku menaiki commuter line menuju jakarta. sepanjang perjalanan aku membaca novel, berusaha menyelesaikannya sebelum oktober berakhir dan aku bisa sangat senang lantaran menghabiskan dua novel dalam sebulan. ini jarang kulakukan setelah beberapa tahun. lantas, perhatianku teralihkan ke seorang anak kecil berkupluk biru di hadapanku. persis sepertimu. kira-kira usianya dua, tiga, atau empat tahun, aku tak bisa menebak. dia bersama ibunya dan sedang melahap roti. mataku tak bisa berhenti memperhatikannya, semakin kuperhatikan maka akan semakin mengingatkanku kepadamu. aku berbohong jika kukatakan tidak merindukanmu saat itu juga.

beberapa jam yang lalu aku mengecek ponselku dan membuka aplikasi whatsapp, kontakmu sudah hilang dari sana entah sejak kapan. mungkin sejak siang hari, entahlah. aku merasa kosong, bertanya dalam hati apakah kau semakin memburuk? aku selalu ingin meneleponmu tapi di saat yang sama seperti ada penghalang yang sangat besar untuk melakukannya, aku tak pernah bisa. kau tahu, aku selalu berharap agar suatu hari aku bisa melihatmu lagi, entah di mana, dan kau baik-baik saja.

dudul.