surat ke-76

(bogor, november 2015)

kau tak bisa pergi lama. kurasa langkahmu gatal ingin kembali jika sedang menyembunyikan diri. kau biasa menyebut dirimu menghilang. lalu aku selalu menunggumu, sebab aku mempercayaimu. namun terkadang aku mengalami perang batin antara keyakinan dan harapan tentang pergimu. satu waktu aku kerap berpikir bahwa setiap kau pergi, maka kau tak akan kembali lalu aku akan merelakanmu. yah, sungguh aku bisa merelakanmu dengan segala keyakinan bahwa kau akan selalu baik-baik saja di luar sana. sementara hatiku terlalu kosong, di waktu yang sama aku merasa hampa dan tentu saja berharap bahwa kau segera kembali.

ini konyol, siang tadi, ketika aku menikmati segelas jus mangga untuk makan siang. betapa aku merasa ingin menangis, tiba-tiba mataku terasa panas, seperti ada yang membakarnya dari dalam. aku memikirkan perkataanmu malam kemarin. kau ingin aku membantumu untuk melupakan perempuan itu tapi kau tak bisa menjanjikan apa-apa untukku. lantas, aku memikirkan seluruh waktu yang telah kita lalui, pun waktu yang telah aku lalui seorang diri. bukankah dari awal kau tak pernah menjanjikan apa-apa. kita tak pernah terikat, kau bebas sesukamu. datang ketika butuh dan pergi jika kau merasa ada yang lebih menarik di luar sana. kukatakan bahwa kita bisa kembali ke perjanjian awal dua tahun yang lalu. jika kelak kau menyukai seorang yang lain maka tak ada salahnya mencoba. yang baru selalu lebih menarik, pikirku. lantas yang lama selalu menjadi tempat pulang. aku akhirnya berpikir bahwa kita tak usah memberi label untuk ini. untuk kita. untuk hubungan kita. kita biarkan saja. kita tak perlu menentukan ujungnya. kau percaya bahwa ada beberapa hal yang hilang makna ketika akhirnya dilabeli oleh sesuatu? kuharap kau percaya. aku bisa memberimu contoh seperti hubunganmu dengan mantan kekasihmu itu yang pada akhirnya tak berarti apa-apa.

kupikir kita hanyalah dua orang yang berusaha mencari kesenangan, kepuasan, dan menjalani kebiasaan yang menyenangkan. yah, menyenangkan bisa mengobrol denganmu. menyenangkan jika kau membuat dadaku penuh dan hangat. menyenangkan bisa memberi tahumu kapan saja bahwa aku menyayangimu. menyenangkan kau membutuhkanku untuk alasan apa pun dan aku tak perlu tahu perasaanmu yang sebenarnya. namun aku tak bisa berbohong bahwa ketika melihatmu sangat terluka beberapa waktu yang lalu aku berpikir bahwa tak bisakah kau melihatku? aku di sini, memandangmu dengan tatapan harap. aku selalu bersedia untuk apa saja. aku merasa bahwa aku bisa mengambil kesempatan untuk menggenggam tanganmu dan mengikatmu. aku ingin menyembuhkanmu dan tak akan membiarkanmu pergi lagi. namun tak kulakukan, sebab ketika memikirkan untuk melakukannya kepalaku dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.

aku selalu memikirkan akan jadi apa kita lima atau sepuluh tahun lagi? masihkah akan seperti ini? atau kita sudah saling melupakan? barangkali aku sudah mengurus anak selagi suamiku berangkat untuk bekerja. aku akan sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan makan malam. menyusui sembari memandangi jemuran dan aku sudah melupakan untuk menulis surat untukmu. atau aku tak akan menikah. seperti yang sudah kukatakan aku dihantui pemikiran sendiri bahwa pernikahan adalah sesuatu yang ribet dan akan memakan seluruh waktuku yang pada akhirnya membuatku melupakan sebuah angan tentang kehidupan pernikahan yang menyenangkan. namun aku teringat buku yang pernah kubaca yang mengatakan bahwa hidup tak harus terlalu direncanakan, jalani saja dan lihat apa yang akan terjadi.

dudul.