surat ke-79

(bogor, november 2015)

siang menjelang sore hari ini terasa sangat gerah, kuharap hujan segera turun. beberapa menit yang lalu kita baru saja berdebat dan aku mengatakan bisakah kita tak usah berdebat seperti ini lagi? bisakah kita hidup damai dan tentram saja? kau seolah tak peduli, hanya mengatakan "terserah." dan mengakhiri percakapan. kau tak pernah berubah. tak pernah. aku bersyukur perempuan itu meninggalkanmu. dan kau tak perlu mengatakan padaku jika ingin pergi lagi. pergilah. pergilah ke mana pun. carilah perempuan lain yang bisa membuatmu merasa puas. di depan jendela perpustakaan aku memandang jauh, aku digerogoti perasaan sesak di dadaku, aku tidak menyukai perasaan seperti ini. aku merasakan tekanan juga kesedihan. kurasa aku mulai muak.

semalam kita banyak mengobrol, kita baik-biak saja. yah segalanya baik-baik saja hingga sebuah kalimat meluncur dari bibirku dan tiba-tiba membuatmu marah. yah, aku mengingatkanmu pada mantan kekasihmu dan tentu saja membuat hatimu sesak dan sakit. sebuah kalimat bisa merusakmu, egomu akan membengkak sehingga kau seperti ingin meledak. aku tak bermaksud, sungguh. itu di luar kendaliku. aku hanya ingin kau bahagia, kau tahu itu.

jadi sepanjang malam, kau menceritakan perjalananmu beberapa hari yang lalu. kau berkendara dengan jarak seratus kilometer lebih menuju sebuah pegunungan. seperti dugaanku, kau hanya berlibur dan tak berencana untuk pergi selamanya, kecuali beberapa menit yang lalu. kurasa aku akan kembali berperang batin, antara mencoba merelakan atau kah menunggumu kembali. sejujurnya aku bahagia mengetahui kebenaran bahwa kau melewati waktu yang menyenangkan, kecuali bagian yang tak mengenakkan dan tak bisa terhindarkan bahwa kau mengalami cidera di lenganmu lantaran sebuah kecelakaan kecil. lantas kepalaku dipenuhi sebuah pertanyaan besar bahwa bagaimana bisa seorang mantan pengendara motocross sepertimu bisa mengalami hal seperti itu. seharusnya kau bisa lebih berhati-hati.

cerita yang lebih menarik adalah kau meminjam sebuah villa dari seorang temanmu dan menghabiskan waktu di sana; di sebuah tempat yang sepi, kau duduk di teras dengan segelas kopi di sampingmu, melewati malam hingga bertemu pagi. aku bisa membayangkan kau duduk seorang diri memandang kejauhan tanpa memikirkan apa-apa, atau sebaliknya. aku tahu betapa tempat itu sangat cocok untuk suasana hatimu, cocok dengan dirimu yang tak menyukai keramaian. kau mengirimiku sebuah foto dengan pemandangan sebuah kota di malam hari yang terlihat dari atas ketinggian. cahaya lampu dari seluruh bangunan terlihat seperti bintang-bintang; sangat kecil dan sedikit tapi indah, yah sangat indah. kau tak tahu bahwa ketika melihat foto itu betapa aku sangat ingin bisa berada di sana bersamamu dan menikmati pemandangan yang sama; bisa melihat apa yang matamu lihat. aku sangat ingin merasakan hal-hal indah bersamamu, setidaknya sekali saja. segala hal yang kau ceritakan sesuai saranku, bahwa setidaknya kau butuh berlibur; ke pantai atau ke gunung. kau butuh menenangkan diri, kau butuh sesuatu yang tak akan menuntutmu menjadi apa-apa. di sana kau menemukan keheningan dan berencana untuk kembali lagi. mendengar segalanya, aku merasa bahwa hanya aku satu-satunya perempuan yang bisa memahamimu.

sejujurnya, aku tak menyukai berdebat denganmu dan membuatmu marah. jika hal itu harus terjadi maka dadaku terasa sakit dan ingatan lama akan kembali menguar di kepalaku. yah, aku masih ingat setiap detil. bagaimana seluruh ingatan di kepalaku hanya mengetahui kau yang dulu, aku tidak tahu bagaimana kau saat ini, aku sudah lupa bagaimana wajahmu. aku tak bisa lagi mengingat senyummu. tapi aku selalu peduli, aku selalu ingin mengetahui kabarmu. kakiku seolah tak bisa berpindah, aku masih di tempat yang sama.

sama sepertimu, hatiku juga kembali sakit. aku tiba-tiba merasa tak berarti. hanya saja, yang membuatku senang adalah kau masih mengingatku, dan setidaknya mengingatku tidak membuat hatimu sakit. aku bisa memastikan. aku tertidur pukul lima pagi setelah merasakan bahwa kau benar-benar marah. aku merasa kepalaku berat. sejujurnya, aku lelah dan muak dengan segalanya. selama ini aku selalu patuh agar terhindar dari kesakitan. dan kupikir membolos kuliah sekali saja tak akan berarti apa-apa, segalanya akan berjalan baik-baik saja seperti biasanya. aku muak dengan keinginan hatiku yang terkadang mendesak. aku lelah. aku lelah mendoakanmu juga lelah menghadapimu. aku ingin kau pergi saja dengan membawa keegoisan yang ada di seluruh sel-sel saraf otakmu. aku ingin kau pergi tapi juga tak ingin. aku mencintaimu, sangat mencintaimu. tapi aku tak menyukaimu lagi.

dudul.