surat ke-82

(bogor, januari 2016)

aku menatap layar televisi sembari mengunyah potongan buah, tak ada siaran yang menarik pagi ini, hanya berita basi yang sudah seminggu, dua minggu--entahlah aku tak pernah tahu--menghiasi pemberitaan. memuakkan. lantas aku merasa bahwa ada sesuatu yang salah. sesuatu yang berbeda. sesuatu yang menghilang. kau selalu tahu apa yang harus kau katakan dan membuatku seolah tak bernyawa. aku merasa hampa. kemarin kau meminta izinku untuk menghilang lagi, lagi dan lagi. harusnya kau tak usah melakukan hal-hal semacam itu lantaran kau selalu tahu bahwa aku tak pernah menyetujuinya. ah, kupikir kejadian seperti ini tak akan terulang lagi, kupikir kita mempunyai kesepakatan. aku tak ingin memaksamu tapi kau merasa bahwa aku adalah seorang pemaksa. aku merasa sudah sepantasnya memberimu saran untuk kebaikanmu, lupakan perempuan itu dan berjalanlah ke depan. tapi egomu masih sebesar harapanmu.

kau tak pernah benar-benar mendengarku dan jika dipikir lagi untuk apa kau melakukannya. aku tak berhak mengatur hidupmu, begitu pikirmu. tak peduli aku menangis ataupun mengeluarkan seluruh kata yang tak harus kukeluarkan. kau selalu menepati omonganmu. sejujurnya aku lelah dan membenci melihat sakit hatimu, dan di saat yang sama kau selalu mengeluh padaku. lantas kupikir, baiklah, lakukan apa yang menurutmu terbaik. aku hanya ingin kau menemukan kebahagiaan dan tentu saja tak ingin mendengar kabar buruk. setelahnya, air mataku menitik. tentu saja aku merasa kehilangan. lagi, lagi dan lagi. aku bosan.

sebulan yang lalu terasa sangat berbeda dengan hari ini. aku menatap pantulan diriku di depan cermin lantas melihat jauh ke dalam mataku bahwa ada yang lain di sana. terlihat sakit dengan lapisan mata tak bernyawa. seorang teman menanyakan keberadaanku lantaran sudah mendekati jam makan siang dan aku tak menampakkan diri di kampus. aku sakit, kataku. yah, aku berbohong. aku merasa tak bisa berbuat apa-apa. anggota gerakku seolah tak bisa ke mana-mana, aku hanya ingin berbaring lebih lama seolah sekarat. aku masih ingat sepanjang januari ini aku selalu menggebu-gebu melakukan segala hal, tentu saja dengan memikirkanmu sepanjang waktu. rasanya menyenangkan dengan kehadiranmu. barangkali itu sebabnya orang-orang mengatakan, jangan menaruh kebahagiaanmu di tangan orang lain. aku mengerti tapi aku bebal.

aku pernah berpikir apa sebenarnya yang kau cari? kenapa kau tak menyerah saja. maksudku, pasrah akan segalanya dan menanti sesuatu yang terbaik untuk jawaban doa-doamu selama ini. aku selalu mengatakan itu padamu. lantas kau mengatakan bahwa teori semacam telah kau pahami, untuk melaksanakannya hatimu masih saja terasa sulit. apakah kau ingin belajar sebuah kesabaran dariku? atau kau ingin menguji seberapa besar kesabaranku selama ini? sayangnya kau tak memberiku kesempatan lebih jauh lagi. terlebih aku selalu ingat bahwa ada batas yang tak bisa kulalui. aku jadi ingat sebuah kalimat yang entah kutemukan di mana, when love is not madness, it is not love. yah, aku setuju. tapi ada saat di mana kita harus berkabung untuk sebuah kehilangan kemudian mengikhlaskan. barangkali kau lebih butuh banyak waktu untuk itu. karena sejujurnya aku juga butuh waktu yang sangat lama. aku selalu menunggumu seperti kau menunggunya, kau bilang aku bodoh dan egois tapi kau juga. aku tak peduli, kau pun sama. kita tak ingin berdebat lebih jauh lagi, lantaran kita sama-sama tak bisa menjelaskan bagian ini.

take care...

dudul.