surat ke-95

(bogor, februari 2017)

lagi-lagi aku bangun kesiangan dan hujan tak pernah berhenti turun sejak seminggu atau dua minggu yang lalu, entahlah. aku tak bisa mengingat. kau tahu, hujan selalu membuatku teringat kepadamu. maksudku, di penghujung tahun sekitar empat tahun yang lalu aku kerap menghabiskan malam ditemani bergelas-gelas kopi dengan mata basah. yeah, aku pernah melewati fase di mana aku menangis berhari-hari lantaran ditinggal seorang lelaki; itu kau. hujan juga membuatku teringat akan hari kepergian ibumu dua bulan yang lalu. tanpa peduli dengan hujan yang baru saja turun, aku berlari melewati gang-gang kecil dengan harapan akan segera menemukanmu di ujung gang sana, meski itu tidak mungkin. yeah, aku harus menunggu belasan jam lamanya untuk bisa bertemu denganmu.

aku menghela napas panjang. bogor menjadi sangat dingin, cuaca seperti ini menambah daftar kerjaan yang menumpuk lantaran sudah seminggu revisi thesisku tak pernah kusentuh dan sepanjang hari banyak kuhabiskan di tempat tidur. kau tahu, menunda pekerjaan membuatku tertekan. ya Tuhan, terkutuklah rasa malas ini.

tubuhku masih terbungkus selimut dan wangi bunga lily dari seprai terasa berganti menjadi wangi bajumu yang kerap kucium samar ketika sedang duduk di sebelahmu. ya Tuhan, aku merindukamu dan mendengar suaramu saja selalu menjadi kecukupan bagiku. barangkali, kelak jika waktunya tiba aku akan selalu mengingat bahwa segala hal darimu pernah melekat di setiap bagian dalam diriku. maka dari itu, kau tak boleh pergi sebelum aku yang pergi; agar kau mencari; agar kau merasa kehilangan. terasa egois dan tentu saja kau tak setuju. barangkali, saat itu kita harus belajar saling memaafkan, merelakan, kemudian melepaskan.

aku selalu bertanya kepada diriku sendiri, akan jadi hidupku jika tak mengenal dirimu. maksudku, segala hal yang kulakukan beberapa tahun belakangan ini semua karena dirimu. seolah aku bernapas hanya untuk membuatmu tetap hidup dalam kepalaku.

dudul