di lengan sebuah sore yang gemar menggugurkan daun-daun mati, perempuan bersepatu putih bertakhta kesedihan kerap menimang rasa dengan hembusan angin yang memasung satu nama
berharap kelak ia akan meneukan jawaban atas doa-doanya melebihi rupa air mata haru di setiap penghujung malam yang hanya bisa diam di sudut kepala, namun kerap menjelma sebuah mimpi, pun sekaligus racun bagi dirinya sendiri
kau tak lagi menjadi milikku, kau pergi serupa merpati yang lupa kepada janji. lantas terbang menemukan luka baru, barangkali. sementara jika kau ingin menetap beberapa waktu saja aku berjanji tak akan ada luka yang harus kau jahit dengan getirnya jarum pemintal rasa
barangkali, aku saja yang terlalu percaya diri perihal Pencuri hati yang tak akan kubiarkan mendiami diri, sebab kau masih kuingini, sebab hati selalu menyimpan kuasa atas rasa yang tak akan mudah membunuh percaya. ia serupa remah kue di sudut bibir seorang gadis kecil bermata awan yang tak rela ada sisa di antaranya.
pernah sekali waktu, ketika apa yang kuingini serupa belati yang menikam tepat di kaki. perlahana menjadikanku perempuan yang berhari-hari diselimuti amarah kepada diri sendiri.
lantas di waktu bersamaan aku merasa asing, serupa kemuning yang dibiarkan mati atas cuaca yang sangsi, lalu tak ada yang hadir selain sunyi yang buncah, sekali lagi.
jika suatu hari nanti tak ada lagi tempat yang ingin kautuju atau seluruh jalan telah kaulalui, pulanglah! ada banyak yang ingin kuceritakan. perihal mimpi yang akhirnya menjadi nyata dan kita menikmati pusaran waktu yang tak mengenal mula pun akhir; yang perlahan melupa bahwa kau pernah pergi.
_____
bogor, 2015