surat ke-107

(makassar, desember 2019)

barangkali, ini akan menjadi surat terakhir yang kutulis untukmu, karena sepertinya tidak ada lagi yang harus kubagi denganmu, kalaupun ada maka akan kusimpan sendiri.

apa yang akan kutulis di surat kali ini bermula pada suatu tengah malam, di mana pada saat itu adalah malam-malam saya tidak bisa tidur. pikiran saya lagi-lagi terlalu riuh; ia liar, mencari segala kesalahan, kekurangan, dan kegagalan-kegagalan yang memiliki banyak nama, yang membuat saya merasa bahwa saya tidak berarti. tentu saja perasaan-perasaan yang hadir tersebut membuat saya tertekan dengan sangat luar biasa. maka pada malam itu saya pun menangis sejadi-jadinya. padahal, waktu itu, mom sedang tertidur nyenyak di sebelah saya.

tentu saja pada saat itu, saya takut suara tangisan saya membuat mom terjaga, maka dengan gerakan perlahan saya turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar, kemudian duduk di kursi ruang tamu. di kuris itu saya menangis sesenggukan hingga dada saya sesak dan mata saya bengkak bukan main. pada saat yang sama, saya lagi-lagi butuh seseorang untuk diajak berbicara. yang mengerti bahwa saya sedang tidak baik-baik saja. hal ini tentu saja sangat berbeda dari apa yang saya tampakkan di kehidupan sehari-hari, di mana saat matahari bersinar cerah saya pun menampakkan hal yang sama. saya membuat image seolah saya baik-baik saja dan bahagia tanpa kekurangan apapun. padahal tidak. hal ini sudah berulang kali kutulis di beberapa suratku sebelumnya.

kejadian serupa terjadi beberapa minggu setelahnya. seingat saya, waktu itu siang hari, matahari sedang terik dan membuat gerah serta lengket. saya sedang bersiap-siap untuk pergi, kembali jauh dari rumah lantaran ada ketidaknyamanan yang saya rasakan di sana. seolah saya ingin menghilang atau mati saja. sesaat sebelum pergi saya terlibat pertengkaran dengan adik lelaki saya, di mana saya merasa bahwa saya lagi-lagi tidak berarti. saya merasa diremehkan. maka dengan sekuat tenaga saya menangis dan berteriak mengeluarkan segala kalut yang selama dua tahun ini menggelayut. hari itu, saya seperti memuntahkan semua isi kepala, perasaan tertekanan serta melantangkan kekurangan yang membuat saya tidak seperti orang lain. bahkan pada hari itu, dad juga menyalahkan saya.

kejadian itu menimbulkan sakit hati yang teramat sangat. perasaan saya sangat remuk mengetahui bahwa dad tidak mengerti keadaan saya. lagi-lagi saya merasa kecewa, tetapi percayalah itu tidak membuat saya lantas membenci dad. beberapa jam setelah kejadian itu saya masih saja menangis. air mata saya seolah tidak bisa berhenti.

pernah juga pada sebuah wawancara kerja di mana saya sangat mendambakan pekerjaan tersebut, dan merasa bahagia bahwa pada akhirnya saya menemukan kesempatan untuk lebih dekat dengan apa yang saya inginkan. dengan harapan dan semangat penuh saya meninggalkan rumah menuju tempat wawancara. tetapi, lagi-lagi, harapan saya dipatahkan beberapa jam kemudian. di akhir wawancara sang manager mengatakan bahwa saya tidak cocok bekerja di bidang yang saya inginkan tersebut. padahal saya memiliki kemampuan dan keinginan yang besar untuk itu. mungkin kekurangan saya terletak pada kurangnya pengalaman kerja yang saya miliki, saya menyadarinya. dan ketika sang manager mengatakan demikian saya membalasnya dengan hanya tersenyum. lantas dengan segera meninggalkan ruangan dengan tidak mengatakan apa-apa. sepanjang perjalanan pulang, saya merasa marah, entah pada diri sendiri yang lagi-lagi gagal atau marah kepada sang manager yang seolah sok tahu. saya seolah mencari pembenaran bahwa tidak sepantasnya manager tersebut mengatakan apa yang pantas dan tidak pantas untuk saya. tahu apa dia tentang saya? begitu pikir saya saat itu. 

ternyata kesedihan dan kekecewaan tidak berhenti di situ. beberapa bulan setelah kejadian tersebut, saya lagi-lagi dibuat kecewa oleh orang terdekat saya. seseorang yang begitu dekat, dan jika bisa kukatakan dia adalah orang yang betul-betul mengenal saya. tidak ada yang lain yang seperti dia di hidup saya. jika ditanya apakah saya bersedia hidup dengannya? maka dengan penuh keyakinan akan saya jalani. suatu malam, kami mengobrol melalui telepon. tidak ada pembahasan khusus hanya obrolan biasa, akan tetapi topik pembicaraan berubah ke arah yang lebih serius, bisa dikatakan bahwa topik tersebut menyangkut perasaan. maka tiba-tiba dia mengatakan bahwa dia sudah bisa hidup tanpa saya dan tidak membutuhkan saya lagi. mendengar hal tersebut tentu saja membuat saya terdiam, saya tidak bisa mengenali perasaan seperti apa yang dihadirkan dari ucapannya itu. barangkali, saya merasakan kesedihan tetapi di sisi lain saya tidak bisa mengekspresikannya. terlebih, saya pun tidak menanyakan kenapa, seolah saya tidak membutuhkan alasan lagi untuk apapun penolakan yang saya terima.

sisanya, saya hanya mendengar dia berbicara, sementara saya menangis tanpa suara. barangkali, menangis adalah satu-satunya yang bisa kulakukan. hati saya seolah remuk. saya merasa patah. saya membutuhkan pegangan tapi saat itu saya tidak memilikinya. saya tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa. maka saya pun mengakhiri telepon malam itu dengan tidak mengatakan satu pun kalimat. kemudian saya meyakini bahwa sesuatu yang pernah terjalin di antara kami telah berakhir begitu saja. seolah delapan tahun tidak berarti apa-apa. hingga surat ini ditulis saya betul-betul tidak berhubungan lagi dengannya. kami seolah sudah berjalan di jalan yang berbeda, dan sejujurnya saya merasa hampa.

tentu saja hingga saat ini saya masih menyembuhkan diri. dan setiap kali mengingat apa yang dia ucapkan malam itu, saya selalu diliputi perasaan sesak. kemudian mata saya memanas, dan sedetik kemudian air mata saya jatuh setetes demi setetes hingga menjadi deras. terkadang, ada perasaan-perasaan yang tidak bisa kita lawan, maka kekecewaan adalah salah satunya. namun, setelah kupikir-pikir lagi, kurasa apa yang kurasakan saat ini bukanlah kesalahannya. barangkali, saya yang salah. salah karena menaruh harapan yang tinggi kepadanya.

saya baru menyadari ketika surat ini kutulis bahwa gejolak perasaan yang ditimbulkan oleh sebuah kalimat ternyata bisa sekuat ini. di saat yang sama saya tidak ingin menyerah. saya ingin menyembuhkan diri. saya ingin bebas. maka banyak hal yang telah kulakukan sebulan belakangan ini. untuk beberapa kesempatan saya lebih sering bertemu dengan banyak orang baru, meski kerap saya digerogoti perasaan yang tidak nyaman berada di antara mereka. dan juga saya lebih banyak membaca lantaran buku-buku yang belum saya baca masih menumpuk. saya melakukan berbagai kegiatan positif, termasuk berolahraga secara rutinsejak delapan bulan yang lalu. di awal tahun saya akan belajar menulis pada sebuah sekolah sastra. untuk hal tersebut, saya bersemangat sekaligus ragu. saya ragu apakah saya bisa melakukannya secara maksimal dan menghasilkan yang terbaik. tetapi jika dipikir lagi ini adalah kegiatan untuk mengisi kekosongan. karena sejujurnya saat ini saya tidak merasakan apa-apa yang berarti. saya tidak merasa bahagia, pun sedih. saya tidak sedang jatuh cinta, dan tidak pula sedang terluka. saya hanya berada pada tahap penyembuhan, dan kupikir perasaan terluka dan sedih yang terjadi telah terlewati.

pernah juga pada suatu sore di mana saya habis berolahraga, handphone saya tiba-tiba berdering. sebuah pesan masuk dari seorang teman lama. dia laki-laki. dari kalimatnya saya bisa tahu, bahwa dia hanya basa-basi dengan menanyakan kabar dan keberadaan saya. sepertinya dia ingin bertemu apabila saya masih menetap di bogor. tetapi sepertinya niat bertemu itu tidak akan terjadi lantaran saya sudah meninggalkan bogor sejak setahun yang lalu. dari balasan pesannya saya tahu dia kecewa, atau hanya berpura-pura kecewa sekaligus sedih. hari selanjutnya hingga beberapa kali, kami berkomunikasi dengan rutin. tetapi kadang pula, pada hari-hari tertentu kami tidak melakukannya. dia maupun saya tidak berusaha memulai percakapan. alasannya karena saya merasa enggan, sikapnya dingin dan tidak terbuka, sementara alasan darinya tidak pernah kucari tahu.

secara perlahan, kehadiran laki-laki ini membuat saya berpikir bahwa hati tidak akan tinggal pada satu tempat dengan waktu yang lama, terlebih jika memang tak ada lagi tempat untuk ditinggali. maka sepertinya saya harus mencari rumah baru untuk perasaan saya yang terluka sebelumnya. tentu saja, saya dengan mudah percaya bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama dengan saya. terlebih, saya sudah menyukainya sejak bertahun lalu. sayangnya, pada saat itu dia memiliki kekasih, begitupun saya. hal ini seolah menjadi rahasia yang kusimpan sendiri dan hingga pada detik di mana dia pergi, saya tidak pernah menceritakannya. dan ada kelegaan ketika akhirnya saya menuliskannya di surat ini. lihatlah, betapa tidak setianya saya. kadang saya mengutuk diri sendiri akan hal tersebut. namun, seperti kutipan dari salah satu buku yang kubaca saat ini "bahwa cinta sangat mungkin berpindah rumah.", maka saya pun diam-diam menaruh harap padanya meski tidak sepenuhnya.

selama dia mengisi kekosongan itu, saya kerap berdoa kepada Tuhan agar diberikan yang terbaik. agar ditunjukkan jalan jika apa yang saya lakukan saat ini adalah yang terbaik untuk hidup saya ke depan. saya berusaha menerima dan mengerti bahwa barangkali memang jalannya akan seperti ini. sebisa mungkin saya menjaganya seolah saya tidak ingin merasa kehilangan lagi dan merasa bersyukur dengan kehadirannya. tetapi, lagi-lagi saya merasakan patah. bukan, ini bukan salahnya. semua yang saya rasakan kemudian, lagi-lagi, adalah kesalahan saya karena berharap lagi, karena mengambil risiko untuk terluka lagi. atau barangkali, dia juga sedang mengisi kekosongan. seolah dia melempar dadu untuk keberuntungan. hanya saja, saya kerap melibatkan perasaan sedangkan dia tidak.

maka pada saat ini saya tidak akan lagi berharap apa-apa. saya hanya ingin berjalan mengikuti arah ke mana langkah kaki akan membawa saya. saya hanya perlu lebih kuat. saya tidak akan jemawa merencanakan segala hal. dan untuk semua niat baik yang ingin saya lakukan di masa mendatang saya hanya ingin berjalan dan berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. saya ingin menjadi sesuatu yang berarti.

terakhir, semoga kau dan aku diberkahi umur panjang untuk apa-apa yang sedang menunggu di depan sana. semoga kau dan keluarga diberkahi bahagia dan selalu sehat. dan ketahuilah, saya tidak lagi merindukanmu. terima kasih, selama ini menjadi tempat saya berbagi segala hal. meskipun kau tidak pernah menyukainya tetapi saya akan tetap berterima kasih.

dudul