surat ke-108

(makassar, januari 2020)

untuk menulis ini saya berpikir banyak hal. tentang kau, tentang kita yang sudah tidak ada lagi, dan juga tentang harapan-harapan saya yang seketika hilang tak ada bekas. jika saat ini adalah waktu yang tepat untuk marah kepada Tuhan, lantas mengapa saya masih saja berdoa kepadaNya? tidak bisakah Tuhan mengabulkan doaku? satu saja. ke mana perginya doa-doaku? apa yang menghalanginya untuk dikabulkan? kenapa hidup bisa seberat ini?

apakah doa, usaha, rasa syukur, dan kesabaran yang saya miliki saat ini masih kurang? apa yang harus saya lakukan agar Tuhan mengabulkannya? kenapa saya tidak bisa merasakan hidup yang lebih baik versi saya sendiri? harus berapa banyak lagi kesabaran yang Tuhan inginkan dari hambanya? berapa banyak lagi usaha dan doa yang harus kulakukan? kenapa keadaan ini berlangsung begitu lama? jika Tuhan tidak menyukai ketika kita membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, kenapa hidup bisa seberat ini? kenapa saya tidak seberuntung kau atau yang lainnya?

saya rasa, saat ini kau baik-baik saja. melanjutkan hidup yang sudah seharusnya. pilihanmu adalah pergi dariku. lepas dan seolah tak pernah terjadi apa-apa. ke mana perginya delapan tahun kebersamaan kita? delapan atau lebih saya tidak yakin. saya hanya merasa bahwa kita seharusnya bersama untuk selamanya. bersatu untuk selamanya. tapi lagi-lagi Tuhan tidak setuju. ada hal-hal dalam hidup yang harus kita lalui, yang terkadang membuat kita tak setuju atau malah sangat setuju denganNya.

yang kupikir adalah kita tumbuh bersama, saya mengetahui apa yang orang lain tidak ketahui tentangmu. jika orang-orang melihat kau adalah A, maka saya mengenalmu sebagai B. kau di luar dari apa yang orang-orang kira. kita telah bersama dalam sehat dan sakit, dalam susah dan senang, kita telah berbagi lagu-lagu kesukaan, jadi bagaimana mungkin saya tidak berharap lebih. ah sialnya, selain saya, mom juga berharap untuk kita. dan ada kecewa yang berusaha ia sembunyikan.

ketika kau mengatakan bahwa kau sudah mulai bisa hidup tanpaku, ada perasaan yang tak bisa terurai. saya tercekat. saya hanya mengingat bahwa ini tidak adil. saya marah kepadamu, marah kepada diri sendiri, dan pada akhirnya saya marah kepada Tuhan. entah kenapa rasa sakit membuat kita marah kepada apa dan siapa saja.

sejak saat itu, saya bertekad untuk tidak akan menghubungimu lagi. tapi kau meminta agar semuanya baik-baik saja. lagi-lagi saya merasa ini tidak adil. saat itu, rasanya tidak ada yang adil. seolah semua sepakat untuk menghukumku. kenapa hidup bisa seberat ini? atau saya yang terlalu berharap seolah kau hanya untukku. dan menginginkan semuanya berjalan sesuai keinginan hatiku? saya tidak memahaminya.

ketika menulis surat ini, saya akhirnya luluh. saya akhirnya bisa menerima dan saya menyadari bahwa bagaimana pun saya tidak bisa hidup tanpa kau. saya betul-betul menyadari bahwa saya akan selalu membutuhkanmu. persetan dengan takdir yang tak membuat kita bersama sebagai pasangan sehidup semati. saya hanya membutuhkanmu di setiap jengkal hidup yang telah dan akan saya jalani.

sangat disayangkan bahwa apa yang mereka pikir tentang kita tak akan pernah terjadi. ternyata perkataan tak selalu adalah doa. bahkan doa yang terang-terangan diminta saja terkadang tak dikabulkan. hidup bisa selucu itu. sejujurnya, saya merindukan saat-saat kita berdiskusi tentang apa saja. apa saja. saya merindukan saat-saat kita menghabiskan waktu berdua. berdua saja. dan kau mendapati saya menangis untuk film-film sedih yang kutonton. biasanya kau menertawaiku untuk itu. oh! tidak ada yang bisa menggantikanmu. menjengkelkan, bahwa saya tiba-tiba menangis menulis ini.

saat ini, saya tidak tahu lagi arti sebuah kehadiran. bersamamu sudah tak mungkin lagi, sementara memulai sesuatu yang baru kenapa bisa sesulit ini? saya gerah dan ke mana perginya Tuhan.

nila


p.s. saban hari kau marah karena saya tidak pernah menulis tentangmu, sementara kau selalu membaca surat-suratku yang kutujukan entah untuk siapa. lihatlah! surat ini untukmu. semoga kau membacanya.