surat ke-118

(makassar, september 2021)

dari beberapa hari yang lalu aku merasa ingin menulis surat untukmu. padahal jika kupikir untuk apa lagi aku menulis hal-hal seperti ini. bahkan perasaanku saat ini tidak sama lagi ketika terakhir kali aku menulis surat untukmu. ada banyak hal buruk yang terjadi dan mengakibatkan segalanya ikut berubah. baik pandanganku terhadapmu, terlebih perasaan. masih bisa kuingat, sekitar enam bulan yang lalu surat terakhir yang kutulis untukmu adalah ketika kau bertanya tentang tujuan kita hidup. jika kau telah membacanya kuharap kau setuju dengan apa yang kusampaikan.

sebelum menulis surat ini, aku menyibukkan diri dengan keadaan rumah. maksudku, segala sudut rumah yang bisa terlihat secara langsung telah kubersihkan. piring kotor telah kucuci, lantai kusapu dan kupel, melipat pakaian yang telah kucuci dan terbengkalai di sofa beberapa hari, merapikan meja, menyikat lantai dan dinding kamar mandi, serta mengatur ulang posisi meja makan. kegiatan ini terasa menyenangkan, kerap kujadikan sebagai terapi jika pikiranku sedang berantakan. tetapi, dari semua yang bisa terlihat itu, saya menyisakan kamar tidur yang tidak kusentuh dan kurapikan. aku membiarkannya seperti ketika aku baru bangun tidur. keadaan itu sengaja kupertahankan untuk memudahkanku meramu kecemasan dan pikiran-pikiran yang berlebihan. seperti tempat paling aman untuk tubuh, jiwa, dan pikiranku.

kebiasaanku yang seperti itu, seolah menegaska bahwa aku adalah pribadi yang ingin terlihat baik-baik saja, tetapi memiliki tempat untuk perasaan yang berantakan. tidak peduli bagaimana keadaan dan perasaanku, yang terpenting aku harus terlihat baik-baik saja.

pikiranku seperti museum. selain hal-hal baik, ia juga menyimpan hal-hal buruk. misal, aku selalu mengingat salah satu hal menyakitkan yang pernah kualami. beberapa tahun lalu, seorang mantan kekasihku pernah mengatakan begini, "sepertinya kita sudah tidak bisa dekat seperti dulu lagi.". entah kenapa kalimat itu sangat membuatku hancur. barangkali disebabkan oleh hadirnya harapan yang pernah kutanam dalam hatiku. di waktu-waktu tertentu kalimat itu kerap berlompatan keluar dari dasar pikiranku. sama halnya denganmu.

dari semua yang terjadi akhirnya aku lebih menyadari bahwa kehadiranmu tidaklah berarti baik bagi perjalanan hidupku. tak seperti yang lain, yang kujadikan sebagai pijakan untuk terus melanjutkan hidup. nyatanya, kau tak lebih dari sekadar kesalahan. entah kenapa aku melihatmu sebagai seseorang yang kusesali. untuk beberapa alasan, ada hal-hal yang tak bisa kumaafkan.

semalam, aku seolah berlagak seperti tokoh dalam tulisan murakami. merasakan sedih dan kesepian seperti lampu jalan dengan pikiran-pikiran yang sulit dijelaskan. merasa cemas terhadap segala hal dan menganggap bahwa semua yang terjadi memiliki maksud tersembunyi. alih-alih menumpangi transportasi umum, aku malah memilih berjalan kaki hingga kakiku terasa pegal. tiba-tiba aku ingin menikmati kesendirian dengan cara yang berbeda. tidak melawan perasaan. membiarkan rambutku dibelai lembut oleh angin malam yang terasa gerah. sesekali menoleh ke arah kendaraan yang mencuri perhatianku karena melaju terburu-buru. merasakan jatuhnya bulir keringat yang menetes dari tengkuk ke punggung. dan mengamati langkah kakiku sendiri yang silih berganti berjalan lambat atau cepat mengikuti irama lagu yang suaranya sengaja kuatur maksimal. aku ingin kebisingan kota tertelan oleh suara musik dari earphone yang kukenakan. hal-hal kecil seperti itu ternyata sangat kubutuhkan agar bisa menemukan kembali kesadaran tentang diri sendiri. atau sebut saja bersenang-senang dengan rasa sepi dan membuang jauh kecemasan.

di sisi lain, aku teringat pula saat-saat menyenangkan yang pernah kuusahakan. misal, pada februari lalu, aku sengaja mengulang sesuatu yang pernah kulakukan untukmu. kau ingat masakan yang pernah kubuatkan untukmu di awal kita bertemu? dari upah mendesain, aku memiliki uang cukup untuk berbelanja ke pasar membeli bahan-bahan untuk memasak hari itu. aku memasak mi goreng. jika tahun lalu aku memasak untukmu, maka tahun ini aku memasak untuk bapak. mi goreng ini mengingatkanku denganmu. ternyata, satu tahun adalah waktu yang sebentar. rasanya seolah baru terjadi. aku yang menantimu untuk makan siang bersama, dan kau yang berjanji akan datang selepas bekerja.

kemudian, pada tanggal satu maret, aku memutuskan kembali menonton “the call of the wild”. film pertama yang kita tonton bersama, sekaligus menjadi yang terakhir kalinya aku mengunjungi gedung bioskop sebelum wabah covid-19 menyerang dan mengharuskan masing-masing kita tetap di tempat, berjauh-jauhan. dan menerima kenyataan bahwa sejak saat itu segalanya tak lagi sama.

dari semuanya, aku menjadi lebih sering berpikir dan merasa bahwa segala yang pernah kulakukan untukmu, kerap membuatku menimbang, apakah kau pantas kusebut sebagai tempat belajar? nyatanya setiap kali aku mengingatmu, yang kuingat pertama kali adalah hal buruk. kemudian berganti ke hal yang menyenangkan, lantas berganti lagi ke yang buruk. seolah isi kepalaku hanya menyimpan kebusukanmu dan kebaikanmu entah berada di mana.

sejujurnya, aku tidak pernah menyangka bahwa hubungan kita yang semula sangat baik, berakhir seperti ini. seolah kau baru kukenal kemarin sore. ratusan hari yang dilewati tak lagi berarti ketika kau menemukan yang bisa berada di sampingmu setiap hari. yang bisa menyuapi egomu. yang bisa kau butakan dengan kata-kata. akan tetapi, aku bersyukur untuk itu. aku bisa mengetahui manusia seperti apa yang selama ini kuhadapi. dan tanpa disadari, kita kembali menjadi dua orang asing yang berlagak tak pernah terjadi apa-apa, namun saling tahu keburukan masing-masing. seolah saling berjanji tanpa kata-kata, kita menyimpan rapat di dalam hati rahasia-rahasia yang mungkin saja menjadi salah satu alasan untuk kita saling menjauh.

bukankah hal itu terasa lucu? kita saling meninggalkan karena mengetahui keburukan bahkan kelemahan masing-masing? harusnya kita bisa saling menerima dan bernegosiasi. tetapi keinginan hati tak bisa diatur agar sejalan dengan keadaan. maka lagi-lagi, kulepaskan kau pergi untuk tenggelam bersama dengan keegoisan yang tak pernah ingin kau kalahkan.

kerap kali keadaan di sekitarku terasa sangat hening, akan tetapi tidak berarti pikiranku mengikuti itu. malahan ia bergerak tidak teratur, seperti trailer sebuah film yang berpindah semena-mena dari satu adegan ke adegan lain. suatu hari, ketika potongan-potongan adegan itu bermunculan kualihkan dengan melakukan sedikit perjalanan kecil keliling kota. di sore hari menjelang kemacetan jalan aku berkendara perlahan mengendarai mobil bapak. meski sudah sore tapi udara terasa gerah. lantas kubuka kaca mobil untuk membiarkan angin menyentuh kulitku. aku berharap segala kecemasan dan energi negatif yang hadir di sekitarku jatuh dan diterbangkan angin.

benar saja, pikiranku teralihkan dengan berkonsentrasi menggerakkan tangan memindahkan gigi mengikuti keadaan jalan. lantas kakiku bergerak otomatis menginjak kopling. saya merasa bersyukur bahwa mobil yang kukendarai ini bisa mengalihkan sejenak kebisingan di kepalaku dengan tidak mengingat hal-hal yang bisa memperburuk suasana hati. sambil berhati-hati agar tetap fokus memerhatiakn lampu rem mobil di depan aku terus melaju tanpa tujuan.

hari ini di tanggal yang sama, setahun lalu, aku sedang berada di ruang tunggu bandara, menunggu jadwal pesawat selanjutnya lantaran beberapa jam yang lalu aku mengalami hal buruk. kupikir kejadian sudah kuceritakan kepadamu saban hari. iya, peristiwa ketinggaln pesawat itu sangatlah buruk. aku tiba di pintu keberangkatan beberapa menit setelah boarding ditutup. aku masih bisa mengingat bahwa begitu banyak drama malam itu. kelelahan karena berlari mengejar waktu, marah, sedih, rasa bersalah karena menabrak seorang laki-laki di depanku dengan troli hingga kakinya terluka dan berdarh, hingga tangis diam-diam membuatku seolah kehabisan energi. pikiran dan hatiku terjebak di bogor, tetapi tubuhku harus segera bergerak pindah ke ruangan lain. perasaan yang tak karuan karena kesedihan dalam berbagai bentuk membuatku akhirnya tidak bisa merasakan apa-apa. kemudian, ketika 12 jam berlalu, akhirnya aku berhasil berada di kursi penumpang, air mataku kembali pecah. aku seolah tenggelam di air mata sendiri. seperti batu yang tenggelam di laut terdalam. semua ingatan yang disebut kenangan secara otomatis memunculkan diri dan membuatku kembali mengingat segala hal yang terjadi selama tujuh bulan. itu adalah waktu-waktu tersulit dan siapa sangka bisa mengubahku menjadi versi lain dari diriku, tidak seperti yang mereka kenal selama ini.

di antaranya mengatakan aku telah berubah. ada yang mem-block-ku dari kontaknya. tak terkecuali mom yang selalu marah melihatku menjadi orang lain. baginya, aku telah melakukan hal buruk dan tidak pantas. padahal, jauh di dalam hati, aku masih orang yang sama. mereka hanya terbiasa melihatku dengan penampilan yang itu-itu. seolah mereka tidak mau menerima ketika kebiasaannya itu tak lagi berpihak kepada mereka.

saat ini aku masih berjuang untuk segala hal-hal baik yang sangat kunantikan. berdoa dan usaha yang tak pernah putus kadang membuat mataku memanas hingga air mata menetes. keadaan seperti itu tentu saja sangat tidak membuat nyaman. saya seolah berada di tempat yang salah dan sangat mengangankan tempat baru yang bisa menjadi permulaan baik untuk segalanya. tetapi ketika kupikir lebih jauh lagi, aku kerap menyalahkan diri sendiri yang seolah tidak mengenal arti cukup dan bersyukur. bisa saja segala hal yang kumiliki saat ini adalah jawaban untuk semua doaku. aku masih saja mencari yang kuinginkan yang pada akhirnya membuatku merasa kecewa. mungkin saja egoku pun masih sangat besar.


dudul.