(makassar, mei 2022)
pagi itu, lima bulan yang lalu, mataku sembab, aku terbangun dengan kepala yang teramat berat. tubuhku seperti ada yang mengikat. tak ada yang lebih berat dari perasaan tersebut untuk saat itu. aku seperti pesakitan yang menanti waktu. kuhabiskan sepanjang hari liburku dengan hanya berbaring, memeluk lutut, dan meremas dada yang sakitnya tidak bisa kuobati sendiri. nyeri. semalam kau menusuknya dengan belati. tiba-tiba. menjelang sore, aku kembali menangis di telepon. kau bilang “kau pasti bisa melewati ini. segalanya akan baik-baik saja.” klise, bukan? aku membencinya.
bagaimana bisa semuanya baik-baik saja, ketika sepuluh tahun yang kuisi dengan harapan seketika kau runtuhkan. atau hanya aku yang tidak menyadari tanda yang kau beri selama ini? adikku mendapatiku dengan mata yang memerah sehabis menangis. yah, aku baru saja menghapus air mata terakhirku sore itu. bersamaan dengan berhentinya rintik hujan di luar jendela.
kulangkahkan kakiku ke dapur, membuka kulkas dan mencari yang bisa menghilangkan hausku. lantai dapur terasa dingin, mataku masih sembab, air mataku seolah telah habis. lihatlah, sayang, kita berakhir seperti akhir kisah cinta di film favorit orang-orang. mereka sangat menginginkan kita untuk bersama seutuhnya dan selamanya. tetapi, ada hal yang tidak bisa kita paksakan lagi. dan kau menjadi pemeran yang dianggap tidak memiliki hati karena meninggalkanku dengan harapan yang koyak, yang mungkin saja akan sulit kubangun lagi dengan orang lain.
lantas, bagaimana rasanya menemukan rumah baru? di mana bisa kutemukan rumah seindah itu bagaimana rasanya menjadi yang paling diinginkan? aku seolah sudah lupa ingatan untuk hal-hal manis tetapi juga memuakkan seperti itu. kadang aku hanya menertawakan kisah-kisah roman picisan yang kulihat, memandang sinis, berucap dalam hati “omong kosong!”.
barangkali, rumah barumu terasa nyaman, terlihat indah dan mahal dengan bunga-bunga segar dan wangi di dalam vas putih. tetapi apakah dia tahu ada tangkai yang telah dipatahkan untuk menikmati semua keindahan itu? apakah dia tahu, aku juga pernah menjadi rumah baru bagimu?
“berurusan denganmu ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan.” katamu pada sebuah sore yang hujan. dan itu membunuhku, sekali lagi. meski hingga saat ini aku tidak pernah tahu pertimbangan seperti apa yang kau maksud. aku pun enggan untuk menanyakannya. serumit itukah jika ingin hidup bersamaku? kupikir aku telah mati sejak beberapa waktu sebelumnya, nyatanya, mati sekali belum cukup.
bisa kubayangkan, kekasih barumu yang manis dan pengertian. kalian membicarakan rencana pernikahan yang indah. keluarga dan teman-teman yang menyayangi dan juga menuntut. masa depan yang indah tanpa cela seperti potret warna-warni yang ditayangkan deretan televisi yang dijual di toko-toko. menggiurkan dan melenakan.
kau akan membawanya ke toko perabot, memilih kursi untuk ruang tamu, meja di dapur, tempat tidur dan seprai, juga membeli bahan makanan untuk makan malam romantis. seperti yang sering kali kita lakukan di masa lalu, dan sesering itu pula kuangankan akan kita lakukan di masa depan.
barangkali, aku hanya marah. bahwa segala hal yang terbiasa kulakukan denganmu terasa terenggut dengan tiba-tiba. ketika aku terbentur, tak ada lagi yang memberiku jalan keluar. tak ada lagi kau untuk membicarakan acara tv kesukaan. hal-hal yang kubenci namun kau sukai tak lagi menjadi bahan pertengkaran kecil kita. lagu kesukaan seolah menertawakan waktu yang telah kita lalui. betapa semua kenangan seperti hukuman.
orang-orang mengatakan, terkadang waktu lama yang dihabiskan oleh dua orang tidak menjanjikan apa-apa. nyatanya, mereka benar. sepuluh tahun seperti menyerahkan seluruh hidup. bagaimana bisa kulalui semua ini?
enam bulan kemudian, akhirnya aku menulis surat perpisahan yang kau minta saban hari itu. ini karena aku memimpikanmu, beberapa hari lalu, di suatu sore. di mimpi itu, sambil memelukku kau bilang begini “kalau aku pergi, kamu jangan sedih, ya!”. ketika terbangun yang muncul di kepalaku hanyalah pertanyaan, "apa yang harus kulakukan agar tidak bersedih?" bahkan, beberapa hari setelahnya pun kau masih mampir di mimpiku. di sana, aku masih saja menangis. ketika menulis surat ini, aku baru saja tiba di rumah. kau tahu, malam ini aku melewati jalan yang pernah kita lalui bersama setahun yang lalu. seandainya waktu itu aku mengetahui itu adalah waktu-waktu terakhir kita.
pada salah satu film yang pernah kutonton, salah satu dialog yang diucapkan tokoh prianya begitu membekas diingatanku, katanya “ada tiga jenis cinta: gairah, pernikahan, dan cinta yang tak terhindarkan.” maka izinkan saya mengenang masa-masa pertama kali aku jatuh cinta kepadamu. kupikir, ketika melihatmu pada suatu sore, itu adalah gairah sekaligus cinta yang tak terhindarkan. sejak saat itu kita melalui jalan yang panjang dan berliku. siapa sangka kita hanya berada di dua jenis cinta itu.
kuakui, bahwa banyak kesalahanku yang pernah membuatmu terluka dan ketika aku ingin memperbaikinya, malah aku tak punya kesempatan lagi. sepertinya, terlalu banyak waktu yang terbuang percuma. satu buku lagi yang juga kubaca telah memicuku untuk menulis tentang bagaimana aku pernah begitu kuatnya menggantungkan beberapa hal yang ada di hidupku kepadamu. termasuk perasaan. ketika kepergianmu, kesendirian dan kesepian secara bersamaan menelanku bulat-bulat.
aku pernah sangat yakin kepadamu; hidup dan seutuhnya perasaan yang kupunya akan aman jika bersamamu. tetapi, takdir dan segala upaya yang pernah ada memiliki porsi masing-masing. kita cukup sampai di sini. nyatanya, sepuluh tahun tidak menjamin apa-apa.
kepergianmu yang begitu tiba-tiba membuatku terpukul, seolah aku tidak lagi memiliki pegangan. hingga kini, untuk beberapa hal yang terbiasa kau selesaikan malah kubiarkan begitu saja. aku seolah tidak memercayai orang lain untuk mengurusnya. lantas, aku ditelan kesendirian, kesepian, dan seolah tidak bisa melakukan apa-apa. sungguh efek yang buruk. aku begitu terlena hingga tidak menyadari bahnwa aku mampu mengahadapi kenyataan. aku seolah dibutakan rasa kehilangan yang mengoyak.
butuh waktu hingga aku menyadari bahwa kesendirian dan kesepian yang kurasakan harus diakhiri. aku boleh sendiri tetapi tidak harus selalu dibarengi kesepian. lagi-lagi penerimaan dan kesadaran adalah hal pertama yang kulakukan. terlepas bagaimana sangat melekatnya aku kepadamu di waktu lalu, perlahan membuatku belajar untuk melepaskan ikatan. menyadari potensi diri dan belajar menyelesaikan beberapa hal yang sanggup kuselesaikan sendiri.
setelah kepergianmu, aku pernah mencoba membuka diri untuk satu dua orang baru. tetapi tidak berhasil. aku tidak memahami penyebabnya. ketika aku mencoba melakukan yang terbaik yang kubisa, nyatanya itu tidak cukup. malahan, aku mempertanyakan kualitas diri, apakah aku cukup baik untuk seseorang?
pada masa-masa meyedihkan itu, aku mengambil keputusan yang kurasa adalah yang terbaik untuk diriku. banyak kekecewaan akhirnya membuatku berpikir bahwa sendiri adalah hal terbaik yang bisa kulakukan. bersama seseorang malah menimbulkan tekanan. melelahkan. keheningan lingkungan dan pikiran adalah yang paling kubutuhkan saat ini. barangkali, tidak apa-apa jika bersikap defensif untuk hal-hal yang bisa membuat bahagia. aku begitu menikmati masa-masa kesendirian itu.
sejujrunya, dua minggu menjelang hari bahagiamu dan sebelum kabar itu datang, aku banyak memikirkanmu. aku sangat merindukanmu. merindukan obrolan kita. membicarakan apa saja. seolah hanya kau yang memahamiku. tanpa mengetahui yang terjadi, seolah firasat, di hari bahagiamu aku merasakan kesedihan. kesedihan yang amat dalam yang seolah menjadi klimaks dari semua perasaan yang mencekik beberapa hari sebelumnya, aku menulis tentang kita di hari itu. aku bahkan membagikan potret kebersamaan kita di akun media sosialku. barangkali, itu adalah ucapan selamat tinggal untukmu.
untuk mengobati luka hatiku atas kepergianmu, aku banyak berpikir tentang diri sendiri sembari membaca. bukan bacaan romansa, tetapi yang lebih mendekati ke pemahaman diri. ketika membaca salah satu sub bab buku tersebut, “mengenali perasaan anda”, aku seolah menemukan penegasan bahwa semua yang tertulis dan apa yang harus dilakukan ketika terluka adalah memang seperti itu. tidak ada cara lain.
kepada seseorang ini, kupikir aku menyukainya. meski aku pun masih mencari sebuah keyakinan untuk perasaanku. kembali lagi, aku banyak berpikir selepas kau pergi. tidak gegabah seperti yang selalu kulakukan di waktu lalu. aku takut menerka, apakah dia juga memiliki perasaan yang sama atau hanya aku saja. aku takut terluka dan melewati fase kehilangan lagi. tetapi, untuk segalanya, aku ingin mengabarkan kepadamu bahwa aku telah menemukan seseorang yang tiap lima waktu kusebut namanya dalam doaku. jika perasaanku ini benar dan nyata, maka aku telah menemukan tempat untuk percaya, sekali lagi.
nila.